Selasa, 08 Juni 2021

PEMANFAATAN SEMUT RANGRANG (OECOPHYLLA SMARAGDINA) BERBASIS INDIGENOUS KNOWLEDGE SEBAGAI UPAYA KONSERVASI BERKELANJUTAN, DESA CIPARANJE, JAWA BARAT

 PEMANFAATAN SEMUT RANGRANG (OECOPHYLLA SMARAGDINA)

BERBASIS INDIGENOUS KNOWLEDGE SEBAGAI UPAYA

KONSERVASI BERKELANJUTAN, DESA CIPARANJE, JAWA BARAT

Tugas untuk memenuhi tugas uas metodologi penelitian





Disusun oleh:

Ririn Sinurat

140410170043


PROGRAM STUDI SARJANA BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2020



BAB I

PENDAHULUAN


1.1 Deskripsi Singkat Penelitian

        Semut Rangrang (Oechophyla smaragdina) termasuk salah satu jenis semut yang sering dijumpai di Indonesia. Jenis semut ini hidup berkoloni dan memiliki banyak manfaat, salah satunya sebagai agen pengendali hayati pada tanaman pertanian (Prayoga 2013). Semut juga mempunyai fungsi ekologis membantu tumbuhan dalam menyebarkan biji-bijian (dispersal), menggemburkan tanah, predator atau pemangsa serangga lain (Schultz and McGlyinn, 2000). Selain itu yang paling diharapkan adalah semut juga membantu mengendalikan hama pertanian. Semut adalah predator yang diprediksikan dapat melindungi tanaman dari hama jika dapat dimengerti dengan benar (Philpott and Armbrecht, 2006).

        Semut Rangrang dapat mengganggu, menghalangi atau memangsa berbagai jenis hama seperti kepik hijau, ulat pemakan daun, dan serangga pemakan buah (Juriyanto, 2013). Semur Rangrang termasuk serangga yang memiliki nilai ekonomis tinggi, yaitu sebagai penhasil kroto yang banyak  digunakan para pemelihara burung untuk memelihara kebutuhan pakan ternaknya. Kroto adalah anakan semut rangrang berupa telur, larva, dan pupa (Prayoga, 2013). Kroto di Indonesia dikomersialkan untuk pakan burung berkicau dan umpan memancing, selain itu untuk pakan ayam karena diyakini untuk mempercepat baik pertumbuhan bulu maupun produksi daging (Césard, 2004). Hasil kroto yang ada di pasaran berasal dari alam, sedangkan alam tidak setiap saat menyediakan kroto apalagi saat musim penghujan. Semakin sempitnya areal perkebunan mempengaruhi populasi semut rangrang yang semakin sedikit, karena habitatnya telah rusak (Putranto,2012).

        Teknik budidaya semut rangrang ada tiga macam cara yaitu tradisional, semi modern dan modern. Cara tradisional hampir tidak ada campur tangan manusia secara langsung, semut dibiarkan berkembangbiak sendiri dan kemudian diambil hasilnya. Cara semi modern umumnya dimanfaatkan untuk menjagapohon agar tidak diserang oleh hama tanaman. Metode budidaya secara modern tergantung peternak dalam hal memperoleh tempat tinggal, pakan, dan asupan nutrisi. Metode modern dibedakan berdasarkan jenis media yang digunakan, yakni metode modern dengan menggunakan bambu, toples dan pipa paralon (Sani, 2014). Pada penelitian ini akan digunakan metode modern menggunakan stoples. Alasan penulis adalah dapat mengurangi sampah plastik seperti stoples rumah tangga yang tidak terpakai.

        Indigenous Knowledge atau pengetahuan tradisional yang lazim disebut dengan kearifan lokal, merupakan hasil interaksi pengalaman manusia dengan pengetahuan yang dimilikinya sebagai salah satu upaya untuk bertahan dalam menjalani kehidupan. (Adelia, 2016). Semur rangrang dapat ditemukan dalam kelompok yang besar atau koloni. Sehingga berada di alam, seperti hutan atau pohon sekitar lingkungan masyarakat dari desa ke desa. Pohon yang ditemukan keberadaan semut rangrang ini paling banyak ditemukan di pohon mangga atau pohon mahoni yang sudah besar. Budidaya yang dilakukan dalam pemanfaatan semut rangrang sebagai upaya konservasi yang berkelanjutan berbasis indigenous knowledge menggunakan media sarang  toples.

1.2 Maksud dan Tujuan

       Penelitian dilakukan bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan semut Rangrang berbasis indigenous knowledge masyarakat Ciparanje dalam upaya konservasi hewan berkelanjutan.

1.3 Metodologi penelitian

        Pengambilan sampel dilakukan dengan Hand Collecting. Penelitian dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif metode survei. Pengumpulan data melalui observasi dan wawancara, selanjutnya data dianalisis secara deskriptif.


BAB II

METODE PENELITIAN


2.1 Alat Dan Bahan

        Alat dan bahan yang digunakan, yaitu stoples transparan dengan ukuran 23 x 40 cm, kamera digital, buku indentifikasi pohon, buku indentifikasi serangga, rak kayu, ember kecil atau sedang, sarung tangan, pisau, nampan, tepung kanji, penggaris dan timbangan serta pakan (air gula merah, ulat Hongkong, ulat Jepang atau Jangkrik).

2.2 Metode Penelitian

        Metode yang dipakai, yaitu metode survei. Peneliti terlebih dahulu akan melakukan survei pada daerah yang akan diteliti. Survei ini dilakukan untuk melihat semut dan dan mengambil koloni semut rangrang secara Hand Collecting dan dimasukkan ke dalam wadah sampel atau kotak sampel (Falahudin, 2012). 

        Selanjutnya dilakukan wawancara dengan masyarakat setempat mengenai pengetahuan tentang manfaat semut rangrang. Hal ini dilakukan agar masyarakat dapat menegtahui potensi semut rangrang terhadap lingkungan dan bagaimana melakukan konservasi melalui metode budidaya semut rangrang. Selanjutnya dilakukan metode pembudidayaan, dengan cara berikut:

1. mempersiapkan rakyang berukuran panjang 150 cm, lebar 50 cm dan tinggi 200 cm. Rak dibuat 3 tingkat dengan jarak antar tingkat 40 cm. Kaki rak dialasi dengan piring seng kecil yang diisi dengan air atau oli bekas (Nurjanan, 2016).

2. mempersiapkan media sarang. Media yang digunakan yaitu toples sebanyak 100 buah. Media sarang toples berukuran 1 liter diberi lubang lubang kecil menggunakan solder. Lubang – lubang kecil tersebut berfungsi sebagai vertilisasi(Nurjanan, 2016). Toples dipisahkan dari tutupnya dan disimpan di dalam rak dalam keadaan terbalik.

3. pencarian semut rangrang ke alam seperti ditemukan di pohon mangga. Setelah didapatkan semut rangrang, semut rangrang ditebar pada lantai bawah rak dan dibiarkan beradaptasi kurang lebih 1-2 minggu, agar semut naik ke rak bagian atas dan menempati media sarang baru yang telah disediakan (Nurjanan, 2016).

4. Budidaya dilakukan dengan pemberian pakan terhadap semut rangrang. Pakan yang digunakan yaitu air gula merah, ulat hongkong, ulat jepang atau jangkrik. Pemberian pakan dilakukan sekali dalam sehari.

5. Pemanenan dilakukan saat umur telur semut rangrang (kroto) mencapai 21-25 hari. Waktu panen dilakukan pada sore hari dengan alat bantu berupa sarung tangan, pisau, nampan, ember, tepung kanji. Panen dilakukan dengan cara menimbang terlebih dahulu koloni dan sarang menggunakan timbangan kue. Isi dalam media sarang dipindahkan dengan cara merusak labirin, agar semut dan kroto masuk ke ember yang telah dilumuri tepung kanji. Kroto yang berada dalam ember dibersihkan dengan cara mengguncangguncangkan ember agar kroto dan semut terpisah. Kemudian semut rangrang dipindahkan ke dalam sekitar rak. Letakkan tisu di atas kroto agar semut rangrang yang masih tersisa menempel, lalu tisu diangkat dan diletakkan di rak. Kroto yang telah terpisah dari semut selanjutnya disimpan dalam nampan. Digunakan sendok plastik kecil untuk memisahkan kotorannya. Lalu kroto yang sudah bersih, ditimbang untukmengetahuiproduksi yang dihasilkan.

6. Penanganan Pascapanen. Semut rangrang yang telah dipisah dari krotonya ditimbang lalu diletakan pada rak panen untuk proses pemulihan selama 6 jam sambil diberi pakan (Yusdira dan Waldi 2015).


        Analisis data dilakukan untuk mengetahui jenis tumbuhan inang yang disukai oleh semut. Hasil indentifikasi pohon dibuat dalam bentuk tabulasi data yang memuat (spesies dan family) dari tumbuhan inang (Wenda dkk., 2018).


Daftar Pustaka


Adelia, Nisa. (2016). Pustakawan Dan Pengetahuan Tradisional: Studi Tentang Urgensi Dan Peran Pustakawan Dalam Pengetahuan Tradisional. Record and Library Journal. 2(1), 2242-5168

Césard, N. 2004. Harvesting And Commercialisation Of Kroto (Oecophylla smaragdina) In The Malingping Area, West Java, Indonesia. Forest Products, Livelihoods and Conservation: Case- Studies of Non-Timber Forest Product Systems. Volume1-Asia Edited by Koen Kusters, Brian Belcher (Ed.): 61-77.

Destryani, T. A. N., Robi’ah, R., Pratondo, P., Berliana, A. F., & Umami, M. (2020, March). Pemanfaatan Semut Rangrang (Oecophylla smaragdina) Berbasis Indigenous Knowledge Sebagai Upaya Konservasi Berkelanjutan. In Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Biologi.

Falahudin, I. (2012). Peranan Semut Rangrang (Oecophylla smaragdina) Dalam Pengendalian Biologis Pada Perkebunan Kelapa Sawit.

Juriyanto. (2013). Untung Besar Budidaya Kroto Dengan Aneka Metode Pengembangbiakan Semut Ranggang. Yogyakarta: ARASKA.

Mele, P. Dan Cuc, N. T. T, 2004, Semut Sahabat Petani, Meningkatkan Hasil Buah-Buahan Dan Menjaga Kelestarian Lingkungan Bersama Semut Rangrang, World Agroforesty Centre (ICRAF).

Nurjanan. (2016). Produktivitas Semut Rangrang (Oecophylla smaragdina) pada media sarang yang berbeda. Skripsi. Institut Pertanian Bogor

Philpott SM, Armbrecht I. 2006. Biodiversity Of Tropical Agroforest And The Ecological Role Of Ant Diversity In Predatory Function. Ecol Etomol 31;369-377.

Prayoga, B. (2013). Kupas Tuntas Budidaya Kroto Cara Modern. Jakarta: Penebar Swadaya.

Putranto, I. (2012). Budidaya Semut Kroto. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Sani, B. (2014). Panen Uang Dari Budidaya Kroto. Surabaya: Kata Pena.

Schultz, T. R. and McGlynn, T. P. 2000. The interaction of ants with other organisms./In: Agosti, D., Majer, J., Alonso, E. et al. (eds), Ants: standard methods for measuring and monitoring biodiversity. Smithsonian Institution Press, pp. 35/44

Wenda, Y., Frans, T., & Kainde, R. (2018, April). Ukuran Populasi Kroto dan Tumbuhan Inang Semut Rangrang di Hutan Pantai Moinit Kabupaten Minahasa Selatan. In COCOS (Vol. 1, No. 1).

Yusdira, A., Waldi, A. H. (2015). Budidaya kroto sistem besek. Jakarta (ID): Agro Media Pustaka.

Tidak ada komentar:

The Tower of Babel: (history, biblical, fact)

  The Tower of Babel   source of picture:  Pieter Bruegel Senior 1563 https://artsandculture.google.com/asset/the-tower-of-babel-pieter-brue...