LAPORAN AKHIR KULIAH KERJA LAPANGAN
BERBASIS PEMBELAJARAN ONLINE
KEANEKARAGAMAN SEMUT (HYMENOPTERA)
Disusun Oleh :
Ririn Sinurat
140410170043
PROGRAM STUDI SARJANA BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
LEMBAR PENGESAHAN
BERBASIS PEMBELAJARAN ONLINE
LAPORAN AKHIR KULIAH KERJA LAPANGAN
Nama :
Ririn Sinurat
NPM :
140410170043
Bidang :
Taksonomi Hewan
Judul :
Keanekaragaman Semut (Hymenoptera)
Waktu Penelitian: 1-30 April
Telah
diperiksa dan disahkan :
Jatinangor,
Mei 2020
Dosen Pembimbing Laporan KKL 2020 Prof. Dr. Wawan Hermawan, MS. NIP.196205271988101001 |
Dosen Pembimbing Lapangan KKL 2020 Dr. Eneng Nunuz Rohmatullayaly, M.Si NIP.198808032019032010 |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Mengetahu, Menyetujui Ketua Rombongan KKL 2019 Dr.rer.nat. Tri Dewi Kusumaningrum P.,M.Si NIP.19740211200512001 KATA PENGANTAR
Segala
puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan penulis
kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan “Project Base Learning” tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya penulis tidak akan sanggup untuk menyelesaikan laporan KKL dengan “Project
Base Learning” ini dengan baik. Penulis
mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan karunia-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan laporan KKL dengan cara Project Base Learning dengan judul “Keanekaragaman Semut
(Hymenoptera) yang telah diubah judulnya dari “Keanekaragamaan Semut
(Hymenoptera) di Padang Rumput Cikamal, Pananjung Pangandaran, Jawa Barat” karena peserta KKL tidak dapat melakukan
penelitian langsung ke lapangan karena masa pandemi COVID-19. Project
Base Learning
ini merupakan suatu pengganti tugas Kuliah Kerja Lapangan (KKL) yang dilakukan
dengan cara menyintesis jurnal yang berkaitan dengan judul terkait yang akan
membentuk suatu sumber data yang padat sehingga menjadi informasi tersusun yang
dapat dipelajari kedepannya. Penulis berharap laporan KKL dengan cara Project
Base Learning ini dapat memberikan informasi penting terhadap peneliti,
mahasiswa, serta masyarakat umum bahwa pentingnya kita mengetahui
keanekaragaman semut karena hal tersebut penulis berharap ada hal yang dapat dilakukan
kedepannya mengenai kelestarian semut seperti bagaimana
kita untuk menjaga agar keanekaragaman semut tetap terjaga baik perannya di
alam. Penulis tentu menyadari bahwa laporan Project Base Learning ini
masih masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk laporan ini, agar
nantinya dapat bermanfaat. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen Pembimbing yang sudah membimbing, membantu dan
memberi dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan Project
Base Learning dengan baik. Kepada teman-teman Delphinus delphis yang memberi
dukungan dan semangat selama belajar bersama di Bologi UNPAD. Demikian
laporan KKL dengan Project Base Learning ini dibuat, semoga laporan Project
Base Learning ini dapat bermanfaat. Terima kasih. Jatinangor, April 2020 Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam
penyusunan laporan KKL dengan cara Project Base Learning ini tidak
terlepas dukungan dari berbagai pihak. Penulis
secara khusus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu. Penulis banyak
menerima bimbingan, petunjuk dan bantuan serta dorongan dari berbagai pihak
memberi dukungan untuk menyelesaikan laporan Project Base Learning.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada: 1. Tuhan Yang Maha Esa
dengan segala rahmat serta karunia-Nya yang memberikan kekuatan bagi penulis dalam menyelesaikan
laporan Project
Base Learning. 2. Kepada
kedua orang tua yang mendukung memberi semangat mengerjakan tugas perkuliahan
serta dukungan doa. 3. Kepada
Bapak Prof. Dr. Wawan, S.Si. selaku
dosen pembimbing yang selalu memberikan
dukungan, dorongan dan arahan pada saat pra kuliah lapangan dan mengerjakan
Project Base Learning sebagai pengganti KKL. 4. Kepada Dr. Eneng Nunuz Rohmatullayaly,
M.Si, sebagai dosen pembimbing lapangan KKL 2017 dan memberi waktu untuk
berdiskusi dan banyak membantu demi kelancaran pada saat pra KKL. 5. Kepada ketua
rombongan KKL Dr.rer.nat.
Tri Dewi Kusumaningrum P.,M.Si yang bekerja
keras untuk membantu selama kegiatan pra KKL dan tetap memberikan waktu diskusi
serta arahan ketika KKL dialihkan menjadi tugas Project
Base Learning. 6. Kepada dosen dan staf pengajar Departemen Biologi
UNPAD yang memberikan fasilitas dan pelayan teradap bidang akademik sehingga
penulis dari angkatan Delphinus delphis dapat menerima pelayanan dan
informasi dengan baik untuk membantu kelancaran pra
KKL, pembelajran secara
daring (dalam jaringan) sehingga setiap informasi baru tetap dapat diterima
oleh mahasiswa Biologi 2017. 7. Kepada Kevin Krishna selaku Ketua Pelaksana KKL 2020 yang
sudah berjuang agar KKL ini dapat berjalan dengan baik, serta setiap usaha
untuk menyukseskan KKL ini mulai dari pembentukan organisasi KKL , membantu
logistik KKL H-1 keberangkatan namun tidak dapat
dilangsungkan. Namun semangat tetap ada. 8. Kepada seluruh anggota Divisi Fasilitator KKL, yaitu
Fauzan Diaz (ketua divisi), M Ariq Rafi, Dely Maulana, Ismail Gulam, L Hakim,
Nuansa Purnama Bangsa, Aghnie Pafeshary, Erin Triani, Febri Deyanti Putri,
Maulida Isfahani N, Nanda dan Widi Granita sebagai teman satu divisi yang
berjuang memfasilitasi kegiatan KKL 9. Serta
kepada teman-teman Biologi Unpad 2017 (Delphinus delphis) yang bersama-sama
berusaha menyelesaikan tugas baik dalam perkuliahan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa membalas
semua kebaikan yang telah diberikan. Semoga laporan praktikum ini dapat
bermanfaat bagi peneliti umumnya dan kepada para pembaca.
Jatinangor, 30 April 2020 Penulis
DAFTAR
ISI
2.2 Pola dan Habitat
Keberadaan Semut 2.3.Tipe-tipe Kelompok
Semut Berdasarkan Fungsi/Respon Terhadap Habitat 2.5.2 Tipe Dominant Dolichotiderinae 2.5.3 Tipe Subordinate Componitini 2.5.4 Tipe Generalized Myrmicinae 2.5.5 Tipe tropical Climate Specialis 2.5.8 Respon Semut Terhadap Kerusakan Antropogenik 2.4 Faktor Abiotik dan
Biotik Mempengaruhi Keberadaan Semut 2.6 Karakteristik Semut
Pekerja dan Semut Ratu 2.7.2 Camponotus
Striatus (Smith) 2.7.3 Camponotus
Atriceps (Smith) 2.7.4 Colobopsis
Etiolata (Wheeler) 2.7.6 Punctatissima
Mayr Pheidole 2.7.7 Forel Monomorium
Ebeninum 2.8 Hidrokarbon CHC
Pada Semut 2.8.1 CHC Terhadap Variasi Antar Koloni 2.9 Jenis Perangkap
Sebagai Metode Perangkap Semut BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keanekaragaman hayati dapat diartikan sebagai
keanekaragaman mahkluk hidup di bumi, baik daratan maupun tempat lainnya. Salah
satu keanekaragaman yang ada di dalamnya adalah keanekaragaman jenis semut.
Semut (Hymenoptera: formicidae)
adalah serangga yang ditemukan pada hampir setiap jenis ekosistem kecuali
daerah kutub dan memiliki beragam peran dalam ekosistem dan sangat melimpah di
kepulauan manapun daratan yang luas dan diperkirakan mencapai 15.000 spesies.
Semut dapat berperan sebagai indikator ekologi untuk menilai kondisi ekosistem
karena semut mudah dikoleksi dengan cara yang bisa distandarisasi, menyebar
dalam jumlah yang banyak dalam suatu lokasi dan memungkinkan untuk
diidentifikasi (Dlussky et al, 2000). Semut merupakan salah satu kelompok hewan yang dikatakan sebagai indikator hayati,
sebagai alat monitoring perubahan kualitas lingkungan dan penentuan kawasan
konservasi. Hal ini didukung oleh beberapa sifat yang dimiliki semut, yaitu
hidup di berbagai habitat, mempunyai toleransi yang sempit terhadap perubahan
lingkungan, biomassa dominan, mempunyai sifat penting dalam ekosistem, mudah di koleksi serta
secara taksonomi relatif maju (Falahudin, 2012). Diantara kelompok insecta, semut
dianggap paling berhasil dalam beradaptasi. Hewan tersebut dapat hidup hampir
disemua tempat pada habitat dalam jumlah
yang melebihi individu hewan terestrial lainnya (Borror et al, 1996). Semut berperan penting
dalam ekosistem terestrial sebagai predator, scavenger, herbivor, detritivor,
dan granivor, serta memiliki peranan unik dalam interaksinya dengan tumbuhan
atau serangga lain. Sejak kemunculannya, semut telah berkembang menjadi makhluk
yang paling dominan di ekosistem teresterial. Semut secara ekonomi kurang bermanfaat
langsung bagi manusia, namun bila dilihat secara ekologi
dapat bermanfaat untuk hewan lain dan tumbuhan, karena dalam rantai makanan memiliki peran yang sangat
penting. Dari 750.000 spesies serangga di dunia, 9.500
atau 1,27% di antaranya adalah semut (Holldobler dan Wilson, 1990). Perubahan habitat sangat memengaruhi keberadaan semut. Respon semut yang
sangat sensitif terhadap perubahan habitat menjadikan semut dapat digunakan
sebagai bioindikator dari gangguan habitat (Andersen 1997; Peck et
al.1998; Andersen 2000), termasuk juga pengaruh pestisida (Matlock & de la
Cruz 2002). Beberapa spesies semut mampu memanfaatkan terjadinya peningkatan
suhu melalui peningkatan aktivitas dan koloni, yang menyebabkan perubahan
struktur komunitas melalui mekanisme kompetisi (Gibb & Ho huli 2003). Keberadaan
tempat bersarang yang sesuai juga memengaruhi keberadaan semut. sebagai contoh,
perkakas rumah tangga dan makanan yang tersimpan di rumah menjadikan habitat yang sesuai untuk
tempat bersarang dan mencari makan bagi semut Tramp (Rizali et al. 2008). Pendapat lain dari Anjali Kumar & O'Donnell (2007) bahwa semut dapat
digunakan untuk menilai kondisi ekosistem hutan untuk tujuan pencapaian
kesehatan hutan karena semut mempunyai korelasi yang kuat dengan beberapa
variabel ekosistem yakni vegetasi, iklim mikro, tanah, dan fauna tanah lainnya.
Semut sangat
sensitif terhadap perubahan lingkungan. Perubahan iklim akan mengubah pola hidup semut dalam
sebuah ekosistem sehingga semut akan tetap bertahan dan menyesuaikan diri, atau berpindah mencari
habitat yang baru dalam menghadapi tekanan lingkungan habitatnya (Peterson
& Seligman, 2004). Penulis sangat
tertarik untuk melakukan penelitian tentang keanekaragaman semut karena semut
jarang diteliti khususnya di daerah Pananjung Pangandaran sehingga informasi
mengenai semut sangat awam serta semut memiliki peran yang cukup besar dalam
ekosistem. Hal ini dilakukan supaya dengan mengetahui keanekaragaman semut,
penulis berharap penelitian selanjutnya masih dilakukan secara berkelanjutan.
Namun, KKL tersebut tidak dapat dilakukan sehingga informasi mengenai kenanekaragaman
semut diperoleh dengan menyintesis jurnal dari berbagai tempat sehingga informasinya lebih
luas. 1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian yang ada pada latar belakang, dapat
dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut: 1.
Apa saja keanekaragaman semut (hymenoptera)
2.
Apa saja peran semut terhadap lingkungan
1.3 Tabel Sintesis Jurnal
BAB IIHASIL SINTESIS2.1. Keanekaragaman SemutDari tabel sintesis diatas, diketahui bahwa terdapat keanekaragaman
semut tingkat sufamili yang dibagi menjadi 5, yaitu Formicinae, Ponerinae,
Dolichodorinae, Cerapachyinae, dan Mymicinae. Subfamili ini terdapat beberapa
spesies yang berhasil didentifikasi. Berikut spesies dari 5 subfamily semut
yang diidentifikasi: 1. Sub famili Formicinae teridir dar:i Paratrechina longicornis,
Anoplolepis gracilipes, Oecophylla smaragdina, Polyrachis sp., Camponotus sp.,
Nylanderia sp., Cataglyphis rubra, Cataglyphis
albicans, Cataglyphis bicolor, Cataglyphis bombycina, Lasius sp., Polyrhachis
dives, Polyrhachis bellicosa, Echinopla lineata, Formicoxenus hirticornis, Formica oreas. 2. Sub famili Cerapachyinae terdiri dari: Cerapachys sp. 3. Sub famili Ponerinae terdiri dari Diacamma
s.p, Odontoponera sp., Odontomachus sp, Platythyrea parallela, Cerapachys sp., Hypoponera sp., Anochetus graeffei.,
Leptogenys diminuta. 4. Sub famili dari Dolichodorinae, Ochetellus
sp., Tapinoma sp., Tapinoma sp., Irydomyrmex
sp., Tapinoma nigerrimum, Messor medioruber, Messor
capitatus, Messor arenarius, Messor sanctus,
Odontoponera denticulata, Trichomyrmex destructor, Monomorium
minimum, Solenopsis geminata, Iridomyrmex anceps, Dolichoderus thoracicus,
Dolichoderus beccarii, Dolichoderus taschenbergi, 5. Sub famili dari Myrmicinae terdiri
dari: Cataulacus sp., Myrmica quebecensis, Myrmica lampra, Myrmica alaskensis, Myrmica
nearctica, M. Crassirugis. Tetramorium simillimum,
Tetramorium bicarinatum, Tetramorium lanuginosum, Lophomyrmex sp., Lophomyrmex
opaciceps, Crematogaster sp., Monomorium sp., Pheidolegeton sp., Pheidole sp., Tetramorium biskrensis, Monomorium salomonis,
Pheidole pallidula, Cardiocondyla batesii, Camponotus barbaricus, Camponotus
foreli, Camponotus alii, Camponotus thoracicus, Rhoptromyrmex wroughtonii,
Meranoplus bicolor, Cardiocondyla nuda, Harpagoxenus
canadensis, Leptothorax canadensis. Anggota
sub famili Myrmicinae merupakan kelompok semut yang memiliki jumlah spesies
paling banyak ditemukan di hutan musim TNB. Anggota sub famili Myrmicinae
didominasi oleh Genus Tetramorium, Monomorium dan Pheidole. Meskipun demikian,
banyaknya jumlah jenis anggota sub Famili Myrmicinae tidak sebanding dengan
banyaknya individu yang diperoleh. Pheidole merupakan genus yang memiliki
jumlah spesies lebih banyak dibandingkan anggota genus lain. Hutan musim
memiliki tekstur tanah yang gembur dan terdapat banyak tumpukan serasah.
Kondisi tersebut diasumsikan sebagai salah satu faktor pendukung terhadap
keberadaan genus Tetramorium, Monomorium, dan Pheidole. Menurut Sharaf dkk.,
(2012) kelompok genus Tetramorium banyak dijumpai membuat sarang pada kayu yang
lapuk, tumpukan serasah atau tanah. 2.2 Pola dan Habitat Keberadaan SemutPola Keberadaan Semut Tanah di Tepian
Sungai Musi Gandus Kota Palembang menunjukkan bahwa lokasi lingkungan dalam
kondisi tertentu dapat berpengaruh terhadap keberadaan semut. Jumlah spesies
semut yang didapatkan cenderung meningkat seiring dengan berkurangnya aktivitas
manusia. Stasiun yang paling tinggi keanekaragaman semut tanah adalah hutan dan
yang paling rendah berada di tepi Sungai Musi.Pernyataan ini didukung oleh
Latumahina et al. (2015) bahwa keberadaan dan jumlah individu semut
dipengaruhi oleh penggunaan lahan. Artinya semakin tinggi gangguan manusia,
maka semakin rendah keanekaragaman semut, namun jumlah spesies semut cenderung
meningkat seiring dengan penurunan tingkat gangguan. Secara berturut-turut
mulai dari tepi sungai, rumah, semak, kebun, dan hutan. Penggunaan lahan untuk berbagai kebutuhan manusia mempengaruhi
ketersediaan pakan dan iklim mikro di tiap tipe stasiun. Stasiun tepian sungai
Musi Gandus merupakan wilayah yang dijadikan masyarakat untuk bertempat
tinggal, industri karet, pertanian, dan perkebunan. Keadaan ini menyebabkan
tidak semua semut dapat berkembangbiak. Semut dengan kemampuan adaptasi yang
tinggi mampu hidup di lokasi ini. Hal ini didukung oleh Rizali et al. (2008), urbanisasi di area Bogor
menyebabkan homogenisasi komunitas semut. Setiap stasiun memiliki jenis dan
keanekaragaman semut yang berbeda-beda, sesuai dengan stasiunnya masing-masing.
Satu spesies didapatkan pada tepi sungai Musi, yaitu spesies P. megacephala.
Semut tanah yang ditemukan di tepian Sungai Musi hanya satu jenis. Hal ini
disebabkan vegetasi yang sangat sedikit pada habitat ini. Tumbuhan yang
ditemukan mayoritas Talas Bogor (Colocasia esculenta). Sementara itu,
semut-semut jenis D. intricatum, Acanthomyrmexsp, C. ligniperda, T.
Melanocephalum dan lain-lain membutuhkan ranting, kayu mati, atau tanah
untuk bersarang, mencari makan, atau pun berlindung. Contoh semut lain yang
tidak dtemukan di tepi sungai Musi adalah semut rangrang (Oecophylla
smaragdina). Semut dari subsuku Formicidae ini memiliki cara hidup yang
khas, yaitu dengan merajut daun-daun pohon sampai daun tersebut terlipat. Hal
ini dilakukan untuk membuat sarang. Semut rangrang menyukai udara segar
sehingga tidak mungkin ditemukan di dalam rumah, melainkan di atas pohon
tertentu (Mele & Cuc, 2004). Semut yang ditemukan pada rumah dengan ketinggian tempat (<100 m) didominasi oleh semut
tramp, yaitu: S. germinata, P. longicornis, dan P. megacephala. Ketiga
jenis semut tanah tersebut biasa berasosiasi dengan manusia dan bersifat
invasif. Perilaku yang invasif inilah yang menjadi alasan kuat mengapa
semut-semut ini ditemukan begitu banyak di habitat rumah (Hasriyanty et al.,
2013). Semak-semak dengan jarak <100 m ditemukan semut semut invasif,
yaitu: S. germinata, P. megacephala, dan P. longicornis.
Jenis-jenis semut yang ada di stasiun ini cenderung memiliki kesamaan dengan
stasiun rumah yang berjarak <100 m, namun komposisi spesies semut berbeda.
Spesies semut cenderung sama, karena stasiun semak berada dekat dengan area
permukiman. Jaraknya tidak kurang dari 20 m. Hal ini mengakibatkan semut yang
hadir pun adalah semut, semut tramp dengan jenis yang sama. Semak-semak dengan jarak <100 m ditemukan semut semut invasif,
yaitu: S. germinata, P. megacephala, dan P. longicornis.
Jenis-jenis semut yang ada di stasiun ini cenderung memiliki kesamaan dengan
stasiun rumah yang berjarak <100 m, namun komposisi spesies semut berbeda.
Spesies semut cenderung sama, karena stasiun semak berada dekat dengan area
permukiman. Jaraknya tidak kurang dari 20 m. Hal ini mengakibatkan semut yang
hadir pun adalah semut, semut tramp dengan jenis yang sama. Semak dengan jarak 100-200 m banyak dihuni oleh semut jenis T.
melanocephalum. Semut ini hanya ditemukan di semak-semak dan hutan. Lokasi
sebelumnya memang terdapat semak-semak, tetapi masih di area permukiman
manusia. Besar kemungkinan semut ini tidak mampu bersaing dengan semut-semut
lain di permukiman manusia. Hal ini disebabkan ukurannya yang terbilang kecil
dibanding semut pada umumnya, yaitu berkisar ±2 mm. Ukuran yang kecil ini
membuat semut ini lambat dalam bergerak. Semut ini cepat melakukan migrasi ke
tempat lain, apabila kondisi lingkungan tidak menguntungkan. Eleanor (2013)
melaporkan bahwa ketika kondisi di luar sarang T. melanocephalum berubah,
seperti terjadi banjir besar atau pun ada spesies dominan lain yang hadir maka
semut ini akan pergi. Semut dari subsuku Dolichoderinae ini memindahkan
sarangnya tiap dua minggu sekali. Selain itu, T. melanocephalum tidak
dilengkapi perlindungan diri seperti sengat milik semut dari subsuku Ponerinae
dan Myrmicinae atau pun acidopore seperti milik Formicinae. Kebun milik warga ditanami berbagai tumbuhan seperti pisang, tebu, cabai
rawit, singkong dan pepaya. Tanaman yang beraneka ragam menyebabkan jenis semut
yang hadir semakin meningkat. Hal ini menyebabkan kesediaan makanan makin
beragam, sehingga relung hidup semut semakin tinggi. Stasiun kebun terdapat
spesies Acanthomyrmex sp., S. germinata, P. longicornis, T. melanocepahalum,
dan C. ligniperda.Di stasiun kebun tidak ditemukan Monomorium
pharaonis. Semut inimakan secara berkoloni dengan ukuran tubuh sangat
kecil. Ukuran yang kecil dan pergerakan yang lambat menyebabkan kalah kompetisi
dengan jenis semut lain. Demikian pula Diacamma tidak ditemukan. Semut
ini yang memiliki sengat ini bersarang di kayu besar yang sudah mati. Sementara
itu, kebun tersebun tidak terdapat potongan kayu-kayu besar sebagai tempat
hidup D. intricatum. Stasiun hutan ditemukan beberapa jenis semut seperti, Acanthomyrmex sp., S.
germinata, P. longicornis, T. melanocepahalum, D. intricatum dan C.
ligniperda. Hutan mampu memberikan faktor lingkungan biotik dan abiotik
yang baik bagi flora dan fauna, termasuk bagi semut. Pada stasiun ini terdapat
berbagai vegetasi yang heterogen, seperti kelor, lamtoro, talas bogor, teki,
dan lain-lain. Vegetasi tumbuhan mampu memengaruhi ketersediaan habitat bagi
serangga permukaan tanah. Serasah di atas permukaan tanah sangat menunjang
kehadiran serangga. 2.3.Tipe-tipe
Kelompok Semut Berdasarkan Fungsi/Respon Terhadap HabitatSemut
dalam hutan sekunder menunjukkan respon yang berbeda dalam menanggapi tekanan
dan gangguan yang terjadi dalam habitatnya. Spesis yang memberikan respon sama
dikelompokkan dalam satu tipe fungsional yang sama dan spesis yang berbeda
respon akan dikelompokan dalam tipe fungsional yang berbeda. Dalam hutan
sekunder terdapat tujuh tipe kelompok fungsional yakni oppurtunist, generalized
myrmicinae, specialis predator, tropical climate specialis, dominant
dolichoderinae, subordinate camponitini dan Criptic species.
Semut opportunist umumnya hidup pada areal yang terganggu sebagai akibat
kehadiran manusia atau pada daerah dengan tingkat diversitas yang rendah
(Giler, 2002). Kerusakan
antropogenik melalui tindakan pengalihan fungsi kawasan dan pembukaan kawasan
hutan untuk dijadikan sumber kayu bakar, sumber bahan makanan, lahan
pengembalaan ternak dapat mempengaruhi kekayaan, kelimpahan, keragaman dan
kekayaan spesis semut dalam hutan lindung. Hal ini sependapat dengan (Garden
dkk., 2007) bahwa perilaku manusia akan menurunkan keragaman jenis dan
meningkatkan dominansi semut dan menimbulkan ketidakstabilan
bio-diversitas. 2.5.1 Tipe
OpportunistKelompok
ini memiliki areal jelajah yang luas sehingga dapat ditemukan di berbagai
tempat. Tipe opportunist biasanya hidup pada habitat yang memiliki
fluktuasi suhu yang tinggi, kelembaban relatif rendah dan penutupan kanopi yang
rendah khususnya areal hutan yang masih muda (Whitmore, 2000). Kelompok semut
ini mengambil keuntungan dari gangguan yang terjadi dalam habitat, tidak mampu
berkompetisi karena distribusinya sangat dipengaruhi oleh kompetisi dari semut
lain. Distribusi habitat sangat luas, namun hanya mendominasi pada wilayah dengan
tingkat tekanan dan gangguan yang tinggi sehingga akan membatasi produktivitas
dan keragaman semut (Holldobler dan Wilson, 1990). 2.5.2 Tipe
Dominant Dolichotiderinae Kelompok fungsional dominant dolichoderinae
ditemukan sangat melimpah, sifatnya sangat aktif dan agresif serta terjadi
persaingan yang kuat antara koloni dan umumnya berperan sebagai forager.
Jumlahnya sangat melimpah pada beragam habitat khususnya daerah tropis, dengan
tingkat aktivitas mencari makan sangat tinggi. Kelompok ini merupakan taksa
yang sangat dominan, bersifat kompetitif dan mendominasi lingkungan yang
mengalami gangguan. 2.5.3 Tipe
Subordinate ComponitiniKelompok
fungsional subordinate camponitini umumnya berukuran tubuh besar, banyak
beraktivitas dari pagi hingga malam hari. Perilaku kelompok ini menyerupai tipe
dominant dolichoderinae dengan berperan sebagai forager. Kelompok
ini tidak sekompetitif semut lain dan biasanya ditemukan dalam jumlah yang
sedikit pada tiap tipe habitat (Holldobler dan Wilson, 1990). 2.5.4 Tipe
Generalized MyrmicinaeKelompok
generalized myrmicinae bersifat kosmopolitan karena dapat ditemukan di
berbagai tipe habitat yang sesuai dengan kebutuhannya. Umumnya saling membantu
apabila ada anggota koloni yang diserang. Bersifat mengelompok dalam pencarian
makanan dan cenderung memiliki wilayah pencarian makan yang tidak jauh.
Kelimpahan spesis ini berubah selama suksesi
hutan sehingga terdapat hubungan yang linear antara kelimpahan spesis
semut ini dengan umur hutan hujan tropis. Tipe ini mampu bersaing pada habitat
yang kaya akan sumber daya. 2.5.5 Tipe
tropical Climate SpecialisKelompok
fungsional tropical climate spesialis umumnya bersifat generalized
foragers dalam hutan sekunder dengan perannya sebagai predator, seed
harvester dan scevenger. Umumnya hidup pada habitat yang memiliki
fluktuasi suhu yang tinggi, kelembaban relatif rendah dan penutupan kanopi yang
rendah (Stephens dan Wagner, 2006). 2.5.6 Tipe
Spesialis PredatorKelompok
fungsional spesialis predator umumnya berperan sebagai predator dalam
jaring makanan. Senang memangsa arthropoda lain, jumlah spesisnya rendah karena
sangat tergantung pada mangsa dan umumnya memiliki interaksi yang rendah dengan
semut lain. 2.5.7 Tipe Cryptic
SpeciesKelompok
cryptic species umumnya hidup di permukaan tanah, dalam tanah dan
serasah, bersifat generalized foragers, serta mempunyai hubungan
dengancsemut epigeic (Stephens dan Wagner, 2006). 2.5.8 Respon Semut
Terhadap Kerusakan AntropogenikSalah satu spesies pada penelitian oleh Latumahina
(2016) yakni Respon Semut Terhadap
Kerusakan Antropogenik Pada Hutan Lindung Sirimau, Ambon tentang yaitu,Crematogaster
sp 1 berasal dari subfamily myrmicinae Spesis ini merupakan spesis
arboreal, ditemukan cukup banyak menjelajahi batang pepohonan, ranting dan cabang
pohon tusam (Pinus merkusii Jung Et de Vriese), lenggua (Pterocarpus
indicus), kayu merah (Eugenia rumphii) dan asam jawa (Tamarinus
indica). Subfamily ini bersifat omnivora, berperilaku seperti pemburu
karena kasta pekerja cukup agresif dan akan menyerang jika diganggu. Berperan
sebagai predator hemiptera, namun dapat pula sebagai pemakan madu dengan
melindungi hemyptera dari predator lainnya (Nakamura dkk., 2007). Dari
penelitian Glasier et al (2019)
menyatakan bahwa meskipun ekosistem tidak umum, bukit pasir Alberta adalah
habitat bagi sekitar satu sepertiga dari spesies semut Alberta (35 dari 92
spesies) . Demikian pula, bukit pasir terbuka di dalam Great Sand Hills of
Saskatchewan selatan juga memiliki kekayaan spesies yang lebih rendah, kemungkinan
besar karena mereka mewakili yang lebih keras dan lingkungan yang kurang
heterogen dibandingkan dengan bukit pasir yang ditumbuhi lebih jauh ke utara (
Lessard and Buddle, 2005). Semua daerah Kanada lainnya yang dilaporkan berhutan
dengan keanekaragaman semut yang lebih rendah, kemungkinan karena kanopi lebih
tinggi tutup, lebih sedikit tepi, homogenitas vegetasi, dan lebih banyak tanah
mesic. Semut dikaitkan dengan hutan tepi di mana mereka memanfaatkan matahari
untuk kehangatan, dan kemampuan untuk menggunakan banyak vegetasi. Studi
terkini tentang keanekaragaman semut di distrik Charsadda adalah akun pertama
semut di wilayah penelitian dan juga di Khyber Pakhtunkhwa, yang melaporkan 19
spesies ditempatkan di 11 genera dan tiga subfamili. Studi tersebut melaporkan
satu subfamili, tujuh genera dan 13 spesies mereka untuk yang pertama waktu
dari Pakistan. Tiga belas spesies dilaporkan selama penelitian ini mewakili
laporan spesies di Pakistan sejak 1947. Enam spesies yaitu Meranoplus bicolor, Camponotus compressus, Camponotus oblongus,
Camponotus sericeus, Lepisiota frauenfeldi, Paratrechina longicornis sudah
dilaporkan oleh penelitian lain. Salah satu spesiesnya, Paratrechina
longicornis sudah terdaftar di fauna semut Pakistan di Antwiki
(www.antwiki.org) dan Antweb (www. antweb.org) situs web tanpa menyebutkan
secara langsung kutipan sementara tersisa lima spesies yaitu Camponotus kompresus, Camponotus oblongus,
Camponotus sericeus, Lepisiota frauenfeldi, Meranoplus bicolor dilaporkan
oleh Umair et al. (2012) dari dataran
tinggi Potohar Punjab, Pakistan. Enam belas spesies yang didokumentasikan oleh
Umair et al. 2012) yaitu Holcomyrmex scabricps, H. glaber, Pheidole
nietneri, P. pronotalis, P. mus, Monomorium logni, M. schurri, Solenopsis
geminate, Atopomyrmex ceylonicus, Crematogaster rothneyi, Tetramorium smithi,
Polyrachis hodgsoni, Camponotus confucii, C. japonicas, Lasius alienus dan
Liponera longitarsus tidak dilaporkan saat ini survei. Ini bisa jadi karena
perbedaan ekologis dan kondisi habitat dari mana koleksi dibuat. Semua spesies
yang diakui dalam penelitian ini adalah juga dilaporkan oleh berbagai
penelitian dari India dan saat ini dalam daftar spesies semut India yang
terdaftar oleh Bharti (2011). Bharti (2011) meminta total 652 spesies valid
yang diketahui terjadi di India. Sebelumnya Umair et al. (2012) melaporkan 21 spesies ditempatkan dalam 13 marga dari
Pakistan dan kemudian Bodlah et al.
(2016) selanjutnya menambahkan dua spesies dari satu genus Tetraponera.
Penelitian lain dilakukan pada berbagai genera melaporkan 23 spesies berbeda
dari Pakistan. Belajar kita selanjutnya menambahkan 13 spesies, 4 genera baru
dan satu subfamili ke fauna semut Pakistan membawa jumlah total spesies ke 59,
genera ke 18 dan subfamilies ke enam. Studi tersebut menunjukkan bahwa hanya satu
spesies saja yaitu Tapinoma
melanocephalum telah dilaporkan dari dalam ruangan situs pengumpulan dimana
tujuh spesies telah dilaporkan hanya dari situs pengumpulan luar ruangan,
sementara sisanya 11 spesies telah dilaporkan baik dari dalam maupun dari dalam
situs koleksi luar ruangan. Tidak ada hubungan yang diamati antara jenis situs
koleksi luar ruangan dan kejadian jenis. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa
spesies tertentu dilaporkan dari wilayah Potohar Punjab (Umair et al. 2012) tidak dilaporkan dalam
penelitian saat ini. Deskripsi spesies tersebut menunjukkan bahwa mereka
sebagian besar telah dikumpulkan dari hutan area Taman Ayub atau dari daerah
perbukitan Islamabad. Wilayah studi kami sebagian besar terdiri dari habitat
kering dan semi kering jadi spesies yang dilaporkan dalam penelitian ini tidak
dilaporkan oleh Umair et al. (2012)
dan sebaliknya karena perbedaan dalam habitat dua wilayah studi. Daerah
penelitian kami terjadi pada ekozon palearctic dan Afghanistan juga berada di
wilayah palearctic, sehingga memiliki kesamaan fauna mungkin diharapkan sampai
batas tertentu. Itu jelas dibenarkan oleh hasil yang dilaporkan beberapa
spesies dalam penelitian ini juga didokumentasikan oleh penelitian yang berbeda
dilakukan di Afghanistan. Lima spesies yaitu Monomorium indicum, Cataglyphis
setipes (Cataglyphis longipedum), Camponotus sericeus, Tapinoma melanocephalum
dan Acatholepis frauenfeldi (Lepisiota
frauenfeldi) juga ada dilaporkan oleh Collingwood (1961) dari Afghanistan.
Namun bidang ini masih membutuhkan banyak pekerjaan. Studi selanjutnya harus
mencakup lebih banyak daerah yang belum dijelajahi dan keanekaragaman habitat
yang seharusnya disurvei untuk fauna semut Pakistan. Seiring dengan semut
keanekaragaman studi ekologi juga harus dilakukan mengetahui efek ada tidaknya
hal-hal penting tersebut bioengineer dan indikator ekologi pada ekologi daerah
tertentu. 2.4 Faktor Abiotik dan Biotik
Mempengaruhi Keberadaan SemutKisaran pH pada hutan, yaitu 4,6 sampai 7 atau cenderung netral.
Kisaran ini umum untuk kebanyakan makhluk hidup termasuk semut. Keadaan netral
dan relatif asam, semut dapat hidup dengan baik. Derajat keasaman atau pH tanah
memiliki peran penting padaekologi hewan tanah, sebab jika asam atau basa semut
kemungkinan tidak dapat bertahan hidup dan berkembangbiak (Suin, 2007).
Pengukuran pH sangat penting dalam meneliti fauna tanah. Organisme atau spesies
ada yang toleran terhadap pH asam dan ada pula yang pH basa (Rahmawati, 2004).
Secara umum semut dapat hidup pada suhu yang berlebih, namun jika terlalu
tinggi dapat membahayakan hewan avertebrata ini. Suhu tanah yang ideal untuk hidup bagi semut
adalah 18 oC - 30 oC. Suhu tanah sangat menentukan
kehadiran dan kepadatan organisme tanah, sebab ada hubungan antara kepadatan
organisme tanah dengan suhu tanah. Tanah lembab dengan sumber makanan yang
melimpah sangat mendukung kehidupan semut (Suin, 2007). Rahmawati (2004)
menyatakan bahwa proses reproduksi, fisiologis dan metabolisme semut akan
terganggu, jika suhu tanah yang terlampau tinggi. Fluktuasi suhu tanah sangat
tergantung pada keadaan topografi, cuaca, keadaan tanah, penutupan awan,
radiasi matahari, angin dan hujan. Suhu tanah hutan dipengaruhi oleh penutupan
vegetasi, penutupan vegetasi yang rapat akan menghalangi masuknya sinar
matahari hingga ke lantai hutan, sehingga mempengaruhi suhu permukaan tanah dan
suhu udara. Keberadaan semut di berbagai lokasi tepian sungai Musi Gandus Palembang
memiliki pola fluktuasi jumlah dan jenisnya. Hal ini disebabkan oleh
keanekaragaman jenis tumbuhan dan aktivitas manusia (perkebunan dan perumahan)
yang ada di wilayah tersebut. Stasiun dengan jenis terbanyak, yaitu hutan dan
yang paling sedikit, yaitu tepi sungai. Semut
mempunyai korelasi yang kuat dengan variabel ekosistem yakni vegetasi, iklim
mikro, tanah, dan fauna tanah lainnya (Shahabudin, 2011). Semut dapat menjadi
indikator biologi untuk menilai perubahan lingkungan karena mudah dikoleksi,
biomassa dominan, taksonomi maju, dan sensitif pada perubahan lingkungan
(Agosti dan Alonso, 2000) dan mampu merespon perubahan yang terjadi dalam
ekosistem (Pecarevic dkk., 2010). Variasi
nilai suatu kelimpahan jenis semut diduga dipengaruhi oleh faktor iklim,
ketersediaan makanan, ketinggian tempat, kandungan bahan organik dan nilai pH
tanah. Pada suhu udara yang terlalu tinggi beberapa proses fisiologis seperti
reproduksi, metabolisme dan respirasi semut akan terganggu. Suhu udara yang
sesuai untuk pertumbuhan semut antara 15-27oC, dimana suhu
yang lebih tinggi bersifat toleran apabila terdapat naungan yang cukup dengan
kelembaban optimal (Rizali, 2007). Rata-rata suhu udara pada saat penelitian
yakni 27 oC dengan kelembaban udara sebesar 85 % diduga sangat cocok
untuk aktivitas semut. Suhu udara berbanding lurus dengan kelimpahan,
distribusi dan keragaman semut. Hal ini sejalan dengan keberadaan semut sebagai
organisme thermopholic yang sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan.
Semut menyukai udara yang sejuk dan lembab dan tidak terlalu panas untuk
aktivitas harian dan reroduksinya (Shattuck, 2000). Faktor
ketersediaan vegetasi dalam hutan sekunder juga dapat mempengaruhi keragaman
dan kelimpahan semut, karena semut memanfaatkan vegetasi sebagai sumber bahan
makanan, tempat bersarang, habitat dan tempat berlindung. Faktor ketinggian
tempat dapat mempengaruhi kelimpahan semut dalam hutan sekunder, karena semakin
tinggi ketinggian tempat maka akan semakin menurun kelimpahan spesisnya.
Ketinggian hutan sekunder antara 250-500 m dpl diduga cocok bagi
penyebaran semut dalam kawasan hutan sekunder. Perbedaan umur tanaman juga
dapat mempengaruhi kelimpahan spesis semut karena berhubungan dengan
ketersediaan dan kualitas makanan. Pada saat penelitian ditemukan banyak sarang
pada beberapa pohon yakni akasia (Acaciamangium), salawaku (Paraserianthes
falcataria ), ekaliptus (Eucalyptus alba) dan durian (Durio
zibethinus) yang diduga sangat disukai oleh semut dimana pepohonan ini
dijadikan sebagai tempat bersarang dan sumber makanan bagi semut.
2.5 Peran SemutPeran
penting semut sebagai soil engineer sangat penting bagi ekosistem. Dalam
hal ini semut ikut berperan dalam merombak material organik. Material organik
seperti serasah, batang dan cabang mati, binatang mati merupakan produk hutan
yang mutlak perlu dipecah menjadi partikel yang lebih kecil, sehingga akhirnya
dapat dirombak menjadi senyawa organik atau nutrien yang dapat diserap kembali
oleh tumbuhan. Aktifitas perombakan tersebut penting dalam proses pembentukan
material organik tanah (Kahono dan Amir, 2003). Kondisi
vegetasi di hutan musim sangat variatif, mulai dari kelompok herba, semak, dan pohon. Kondisi
tersebut menciptakan variasi iklim mikro serta banyak relung ekologi di hutan
musim sehingga mampu mendukung lebih banyak spesies bisa beradaptasi dan
tinggal di hutan musim. Pada penelitian
yang dilakukan di
ekosistem Hutan Musim oleh Siriyah
S.L (2016) manyatakan bahwa genus Tetramorium, Monomorium, dan Pheidole merupakan genus yang
memiliki jumlah spesies lebih banyak dibandingkan anggota genus lain. Hutan
musim memiliki tekstur tanah yang gembur dan terdapat banyak tumpukan serasah.
Kondisi tersebut diasumsikan sebagai salah satu faktor pendukung terhadap
keberadaan genus Tetramorium, Monomorium, dan Pheidole. Menurut Sharaf dkk,
(2012) kelompok genus Tetramorium banyak dijumpai membuat sarang pada kayu yang
lapuk, tumpukan serasah atau tanah. P. longicornis
tertarik pada umpan gula dan ikan, selain
itu, semut tersebut juga terperangkap oleh perangkap sumuran yang dipasang pagi
dan sore hari. Hal ini menunjukkan semut ini aktif siang dan malam hari. Dalam
kegiatan koleksi semut di ekosistem Hutan Musim diperoleh Oecophylla
smaragdina atau dikenal sebagai semut rang-rang. Spesies tersebut memiliki
potensi nilai ekonomi cukup tinggi. Larva serta koloni semut ini banyak
dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber pakan burung. Selain itu, Oecopylla
smaragdina memiliki potensi besar sebagai predator hama dan dapat
dimanfaatkan sebagai agen pengendalian hayati. Spesies ini secara signifikan
menurunkan populasi beberapa spesies hama pada tanaman mete (Anacardium
occidentale L.) di Australia (Peng, R.K., dkk., 1995). Pada
penelitian tentang Keanekaragaman dan Kelimpahan Semut sebagai Predator Hama
Tanaman Padi di Lahan Sawah Organik dan Anorganik Kecamatan Karanganom
menyebutkan bahwa keanekaragaman semut di lahan sawah organik maupun lahan
sawah anorganik tergolong rendah sampai sedang. Secara umum indeks
keanekaragaman di lahan sawah organik lebih besar dibandingkan dengan lahan
sawah anorganik. Rendahnya indeks keanekaragaman di lahan sawah anorganik
menunjukkan ekosistem yang kurang stabil. Hal tersebut dapat disebabkan oleh
adanya pengaplikasian pestisida kimia sintetik yang dapat menurunkan populasi
semut di lahan sawah anorganik dan juga disebabkan oleh sistem pertanaman di
lahan sawah yang monokultur. Semakin rendah nilai indeks keanekaragaman maka
semakin menurun tingkat kestabilan pada suatu ekosistem (Krebs, 1989). Menurut
Tauruslina dkk, (2015), penggunaan insektisida pada lahan pertanian secara
intensif tidak hanya dapat menurunkan populasi hama, tetapi juga dapat
menurunkan populasi dan keanekaragaman serangga lain seperti predator dan musuh
alami lainnya.Perbedaan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti fase pertumbuhan
tanaman padi, tipe umpan yang digunakan, lama waktu penelitian, faktor fisik
kimia lingkungan, letak geografis, aplikasi pupuk dan pestisida pada lahan
sawah organik dan anorganik Keanekaragaman
semut yang berpotensi sebagai predator hama tanaman padi di antaranya adalah
semut Anoplolepis gracilipes, Solenopsis geminata, dan Paratrechina
longicornis. Semut tersebut memiliki potensi sebagai predator hama tanaman
padi dikarenakan termasuk jenis semut tramp yang bersifat invasif dan
dapat menurunkan populasi serangga lainnya di lahan sawah. Hasil uji Hutchinson
di lahan sawah organik dan anorganik pada tipe umpan hama menunjukkan hasil
signifikansi yang berkebalikan dari tipe umpan daging ikan. Hal tersebut
dikarenakan spesies semut yang berbeda menyukai umpan yang berbeda pula.
Pengaplikasian pestisida sintetik mempengaruhi jumlah bahan organik yang
terkandung dalam tanah. Bahan organik di lahan sawah organik lebih tinggi
dibandingkan dengan lahan sawah anorganik dikarenakan pada pengaplikasian
pestisida kimia di lahan sawah anorganik akan berdampak pada terbunuhnya fauna
tanah atau berpindahnya organisme pengurai yang menyebabkan hilangnya keseimbangan
ekosistem. Ketersediaan bahan organik akan meningkatkan aktivitas fauna tanah
(Wulandari dkk, 2005). Semut
memiliki peran penting dalam keseimbangan ekosistem di suatu habitat. Peranan
pada umumnya sebagai predator, pengurai, herbivor .Peran semut sebagai predator umumnya
memangsa serangga hama seperti ulat, kumbang, belalang, wereng, penggerek
batang, dan kutu putih. Sebagai contoh
pada semut Anoplolepis menjadi predator bagi seranggaserangga kecil
seperti trip (thrip) dan kutu putih (Ikbal dkk, 2014). Semut yang
ditemukan di lahan sawah organik dan anorganik selain berperan sebagai predator
beberapa juga memiliki peran sebagai pengurai sisa-sisa bahan organik. Sebagai
contoh semut yang berperan sebagai pengurai sisa bahan organik yaitu Solenopsis
geminata. Sesuai dengan pendapat Putra (2017), bahwa semut Solenopsis
geminata selain berperan sebagai predator juga berperan sebagai dekomposer
atau pengurai. Di samping memiliki sifat predator, beberapa semut juga memiliki
sifat sebagai herbivor. Semut yang berperan sebagai herbivor diantaranya adalah
Anoplolepis gracilipes, Paratrechina longicornis, Camponotus sp, dan Iridomyrmex
sp. Semut juga memakan biji-bijian dari tumbuhan dan buah. Semut
pekerja Paratrechina sp bersifat omnivora, memakan serangga hidup dan
mati, biji-bijian, buah-buahan, eksudat tanaman, dan makanan rumah tangga
(Ikbal dkk, 2014). Semut juga bersimbiosis mutualisme terhadap serangga lain.
Bentuk simbiosis mutualisme antara semut dengan serangga lain yaitu seperti
pada Tapinoma sp yang membutuhkan embun madu dari kutu daun sebagai
sumber energinya dan kutu daun mendapatkan perlindungan dari serangan serangga
predator lainnya dari semut. Tapinoma sp tertarik pada honeydew (embun
madu) yangdihasilkan oleh kutu daun (Aphids) dan coccids
(Shattuck, 1992).
Keberadaan
semut tramp yang bersifat invasif seperti semut Anoplolepis
gracilipes,Solenopsis geminata, dan Paratrechina longicornis dapat
mengakibatkan berkurangnya keanekaragaman semut lain dikarenakan kalah dalam
berkompetisi. Semut jenis tersebut berpotensi sebagai predator hama tanaman
padi karena keberadaannya yang bersifat invasif berpengaruh negatif terhadap
keanekaragaman serangga lain. Sesuai dengan pendapat Hasriyanty, dkk (2015),
Keberadaan semut tramp yang bersifat invasif, seperti Anoplolepis
gracilipes, Paratrechina longicornis, dan Solenopsis geminata disamping
mampu beradaptasi pada habitat terganggu juga menyebabkan hilangnya spesies
semut yang lain karena kalah berkompetisi.
Gambar 1. Jenis
semut yang tertangkap selama penelitian
(Keanekaragaman dan Kelimpahan Semut
sebagai Predator Hama Tanaman Padi di Lahan Sawah Organik dan Anorganik Kecamatan
Karanganom Kabupaten Klaten: a.Anoplolepis gracilipes, b. Solenopsis
geminata, c. Paratrechina longicornis, d. Camponotus sp, e. Odontoponera
denticulata, f. Lasius sp, g. Monomorium minimum h. Tapinoma
sp, i. Iridomyrmex sp, j. Trichomyrmex destructor, k. Iridomyrmex
anceps. Sumbe gambar :
dokumen jurnal Bioma, Desember 2017
Vol. 19, No. 2, Hal. 125-135. p ISSN: 1410-8801.
2.6
Karakteristik Semut Pekerja dan Semut Ratu
2.6.1 Semut
Pekerja
Deskripsi
semut pekerja : Kepala dalam tampilan wajah penuh subrangular, jelas lebih
panjang dari lebar, dengan margin posterior cekung sangat lemah atau hampir
lurus, dengan margin lateral cembung lemah, dalam pandangan lateral dengan
margin dorsal lurus dan margin ventral sedikit cembung; mandibula segitiga;
pengunyahan margin mandibula dengan apikal yang besar dan dua gigi preapikal
yang berbeda diikuti oleh serangkaian gigi yang lebih kecil; bagian dasar luar
mandibula tanpa lubang atau alur; bagian tengah clypeus menghasilkan anteriad,
dengan margin anteromedian cekung lemah; mata majemuk terletak di sisi kepala
dekat dengan insersi mandibula, kecil (EL 0,07-0,10 mm), terdiri dari total
12-16 ommatidia; antena 12-merous; scape antennal ketika diletakkan memanjang
melebihi sudut kepala posterolateral dengan panjang segmen antennal II; II
hampir sepanjang total III dan IV; Panjang III-V hampir identik; VI-XII secara
bertahap bertambah panjang menuju apex, tidak membentuk klub yang berbeda.
Pronotum dalam pandangan lateral dengan garis anterodorsal curam; mesonotum
dalam tampilan lateral sedikit cembung; jahitan promesonotal dan jahitan
mesonotal-mesopleural berbeda; lekukan metanotal mencolok melintasi dorsum
mesosomal, sangat diinsisi; mesopleuron tidak dibagi oleh sulkus transversal
yang berbeda; meso-metapleural suture berbeda; propodeum dalam pandangan
lateral dengan dorsum pendek dan cembung samar atau hampir lurus, dan
kemiringan posterior hampir lurus; propodeal spiracle elips; tidak ada lobus
propodeal; bagian apicoventral dari meso dan metatibia dengan taji pektinat
tunggal. Node petiolar dalam tampilan lateral squamiform dan kurus; proses
subpetiolar berkembang dengan baik sebagai lobus, tanpa fenestra anterior,
dalam pandangan lateral dengan cekung yang lemah pada margin ventral, tanpa
proses seperti rak posterior. Perut tergite III selama atau sedikit lebih lama
dari IV. Prora hadir sebagai punggungan berbentuk U yang berbeda di bawah
helcium. Kepala,
pronotum, mesonotum, dan dorsum propodeum dan tangkai daun seluruhnya tertutupi
oleh tusukan penusuk rambut; mandibula halus; mesopleuron sebagian besar halus
dan mengkilap; metapleuron sebagian besar halus dan berkilau, dengan bagian
posteriormost yang terbaik; pretergite IV hampir halus dan mengkilap, dengan
luruk melintang fuzzy. Tubuh ditutupi dengan pubesensi latar belakang
subdecumbent yang jarang di mesopleuron dan metapleuron daripada di sisa tubuh;
clypeus dengan beberapa setae tegak; mata majemuk dengan rambut pendek di
antara ommatidia; antena tertutup relatif desenly dengan sangat pendek, appres
untuk suberect puber; segmen perut III-VII dengan banyak ereksi setber suberect
antara pubescence latar belakang. Badan berwarna coklat tua hingga coklat
kemerahan; rahang bawah, antena dan pucat kaki. 2.6.2 Semut Ratu
Deskripsi ratu semut, secara umum penampilan ratu mirip
dengan pekerja. Tubuh lebih besar dari pada pekerja; Gaster terkadang jelas
lebih besar dari pada pekerja. Mata majemuk besar (EL 0,20-0,22 mm), dengan
rambut pendek di antara ommatidia ; ocellihadir; jarak antara ocelli median dan
lateral sepanjang jarak antara ocelli lateral. Mesosoma dengan sklerit utama
yang terkait dengan fungsi sayap; mesoscutum dengan garis parapsidal yang
mencolok, tanpa notauli, dalam pandangan lateral dengan garis anterodorsal yang
sedikit cembung; garis punggung mesonotum dalam pandangan lateral lemah
tertekan antara mesoscutum dan mesoscutellum; mesopleuron dengan berkembang
dengan baik sulkus melintang yang membaginya menjadi bagian atas dan bawah; propodeum
dalam pandangan lateral dengan posisi pendek dorsum pendek dan miring, dan
kemiringan posterior hampir lurus. Bagian apikal dari simpul petiolar pada
tampilan lateral meruncing lebih tajam daripada pada pekerja. Bionomik: Spesies
ini hidup di hutan sekunder dan primer dari dataran rendah ke dataran tinggi
(hingga ketinggian sekitar 1.000 m), dan sarang di serasah daun, tanah, kayu
busuk dan potongan kayu busuk, dan di bawah batu. 2.7 Tipe-tipe Semut Pekerja
2.7.1 Azteca schimperi
Emery
Azteca schimperi
Emery (Hymenoptera: Formicidae: Dolichoderinae)
dilaporkan untuk pertama kalinya di negara bagian Tamaulipas, Meksiko. Sebanyak
4 semut pekerja dan seorang ratu dikumpulkan. Sarang dari spesies ini sulit
dideteksi karena kebiasaan arborealnya, seperti yang didokumentasikan oleh
Longino (2007), yang melaporkan 3 sarang A.
schimperi pada Cecropia (Urticaceae) setelah beberapa tahun pengambilan
sampel di Kosta Rika. Ini membentuk sarang besar yang dibangun dari bahan
tanaman yang digerogoti dan dilaporkan di tempat lain bersarang di pohon genus
Cecropia (Benson 1985). Pencarian visual di dekat lokasi jebakan menunjukkan
bahwa wilayah pencarian makan mereka tidak terbatas pada pohon inang, tetapi
diperluas ke semak-semak di sekitarnya. Pencarian tambahan terdeteksi A. schimperi bersarang di rongga-ranting
pohon mangga yang rusak atau busuk (Mangifera indica L.; Anacardiaceae), yang
merupakan komponen umum dari hutan tropis di wilayah tersebut. Pekerja memiliki
tibia tengah dan posterior tanpa taji apikal, mandibula dengan ketebalan khas
pada pangkal, cekung tepi pengunyahan melengkung ke arah gigi apikal yang
membesar, gigi apikal jauh lebih besar dari gigi kedua, lobus clypeal medial
sangat cembung dan menonjol, memanjang jauh di luar lobus clypeal lateral,
kepala dengan sisi-sisi cembung, dan margin posterior yang kuat (Longino 2007). 2.7.2 Camponotus
Striatus (Smith)
Dua
pekerja Camponotus striatus (Smith)
(Hymenoptera: Formicidae: Formicinae) dan 1 mayor dicatat dalam Acacia sphaerocephala. (Fabaceae) dan Coffea arabica L. (Rubiaceae) (Gillette
et al. 2015). Pekerja memiliki jahitan metanotal yang sangat tertekan, patung
yang kuat, bertitik, dan buram di sisi kepala, dan sisi pronotum dipahat halus
dengan bagian yang halus (Mackay & Mackay 2018). 2.7.3 Camponotus Atriceps (Smith)
Empat
pekerja anak di bawah umur dan 1 mayor Camponotus
atriceps (Smith) (Hymenoptera: Formicidae: Formicinae) terdeteksi. Ini
adalah spesies sinantropik yang sering diamati bersarang di batang di kebun
kopi (De la Mora et al. 2015). Ini adalah semut coklat kemerahan hingga hitam
dengan kaki dan coxae yang lebih ringan, setae proyeksi anterior yang melimpah
tetapi jelas-jelas fleksibel. dorsum mesosom, mata sedang hingga besar dengan
lebih dari 6 sisi, propodeum dan tangkai daun tidak memiliki sepasang gigi
pendek (Sarnat 2012). 2.7.4 Colobopsis Etiolata (Wheeler)
Empat
pekerja Colobopsis etiolata (Wheeler)
(Hymenoptera: Formicidae: Formicinae) dan satu mayor dicatat. Spesies ini
dilaporkan sebelumnya dari sarang di Quercus virginiana Mill. (Fagaceae).
Tentara dari spesies ini menggunakan kepala mereka untuk menutup pintu masuk
sarang. Individu berwarna pucat dan memiliki tepi yang tajam di sepanjang
permukaan terpotong dari kepala sub-silinder. Frontal carinae terpisah secara
luas, dengan jelas menyatu ke depan, scape antennal melengkung, tipis di bagian
dasarnya, meningkatkan lebarnya ke arah ujung. Diprofilkan secara seragam dan
dada bagian atas melengkung dengan pronotum bulat, hampir tidak lebih lebar
dari panjang (Bolton et al. 2007). 2.7.5 Forel Camponotus Mina
Sebuah
minor dan utama Camponotus mina Forel (Hymenoptera: Formicidae: Formicinae)
dicatat. Semut ini biasanya bersarang di semak-semak mesquite (Prosopis
glandulosa Torr.; Fabaceae). Ini fitur setae ereksi yang melimpah pada sebagian
besar permukaan, hampir semuanya dengan ujung tumpul, beberapa hampir berserat,
menutupi kepala. Masa pubertas yang tertekan jarang terjadi, dan tepi anterior
clypeus cekung. Semut ini berwarna hitam kemerahan-cokelat mandibula, antena
cokelat, dan tibiae (Mackay & Mackay 2002). 2.7.6 Punctatissima Mayr Pheidole
Enam
anak di bawah umur dan 1 mayor Pheidole
punctatissima Mayr (Hymenoptera: Formicidae: Myrmicinae) diidentifikasi
dari jebakan. Spesies ini sering ditemukan di daerah yang terganggu, bersarang
di cabang busuk, dan di bawah kulit pohon (Longino & Cox 2009). Ini adalah
spesies yang relatif mudah diidentifikasi; dua pertiga dari kapsul kepala di
jurusan berwarna kuning keunguan, yang sangat kontras dengan warna cokelat
sedang sampai coklat tua dari seluruh tubuh. Pada pekerja, semua bagian tubuh
kecuali segmen kedua dan berturut-turut dari gaster adalah foveolate dan buram
(Wilson 2003). 2.7.7 Forel Monomorium Ebeninum
Enam
pekerja Monomorium ebeninum Forel
(Hymenoptera: Formicidae: Myrmicinae) dikumpulkan. Koloni besar dari spesies
ini sering bersarang di cabang mati, di bawah batu, dan di rongga tanaman.
Pekerja memiliki wajah miring dan basal dari propodeum dengan panjang yang
kira-kira sama. Juga, mesopleuron pada pekerja halus dan cerah (DuBois 1986). 2.8 Hidrokarbon
CHC Pada SemutDalam
suatu spesies, variasi CHC secara kuantitatif sebagian besar yaitu, individu
memiliki set hidrokarbon yang sama, tetapi dalam jumlah relatif yang berbeda.
Terutama, banyak spesies memiliki deret homolog, yaitu hidrokarbon dengan
kelompok metil yang sama dan / atau posisi ikatan rangkap, tetapi panjang
rantai yang berbeda (Martin & Drijfhout 2009a). Sebaliknya, di seluruh
spesies, peneliti menemukan yang sangat besar keragaman kualitatif hidrokarbon
kutikula, yaitu, serangga dari spesies yang berbeda dapat memiliki set
hidrokarbon yang sepenuhnya berbeda. Profil seperti itu biasanya begitu
spesifik bahwa seseorang dapat dengan mudah mengidentifikasi spesies
berdasarkan spesiesnya profil hidrokarbon kutikula saja (Kather & Martin
2012). Komposisi profil CHC yang kompleks memungkinkan untuk menyimpan banyak
informasi. Memang, itu penting peran untuk komunikasi kimia ditemukan dalam
awal 1970-an (Carlson & al. 1971, Blomquist & Bagnères 2010), dan sejak
itu telah ada sejumlah studi pada difungsikan saat ini. Pada banyak serangga
soliter, mereka melayani sebagai feromon seks kontak (Buellesbach & al.
2013) dan dapat menunjukkan status pemuliaan dalam mengubur kumbang (Steiger
& al. 2008). Gambar 2: Cuticular hydrocarbons play important roles in
intraspecific and interspecific interactions. (A) A virgin queen of Camponotus
ligniperda shortly after leaving its nest, Germany. CHC profiles of virgin
queens differ from worker profiles, but also from those of mated queens. (B) A Camponotus
cruentatus worker a ntennating a n aphid, S outhern France. (C) Formica workers
tending aphids, Northern Spain. Although these trophobiotic interactions are
driven by aphid honeydew, ants recognize their aphid partner based on CHC
profiles. All photos by Florian Menzel
(Philipp P. Sprenger & Florian Menze, 2020)
Hidrokarbon
kutikula sangat penting pada serangga sosial, yang membutuhkan lebih banyak
informasi untuk ditukar untuk menjalankan koloni. Serangga sosial, seperti
semut, lebah, atau rayap, gunakan mereka untuk membedakan teman satu sarang
dari non-nestmates (Soroker & Hefetz 2000). Di dalam koloni, mereka
memberikan informasi apakah seorang individu adalah ratu atau pekerja, dan
(untuk pekerja) baik itu penjelajah atau perawat (Leonhardt & Al. 2016).
Karenanya, variasi CHC pada serangga sosial menjadi sangat penting penting
mengenai intraspesifik dan intra-kolonial variasi, dan tekanan seleksi yang
dihasilkan akan dibahas (“Variasi intrinsik di dalamnya koloni serangga sosial
”). Fungsi CHC yang kurang dipelajari termasuk perannya sebagai penghalang
terhadap mikroba (Wurdack & al. 2017), pelumasan kutikula (Cooper & al.
2009), dan peningkatannya adhesi kaki melalui tetesan CHC dibiarkan sebagai jejak
kaki ketika seekor serangga berjalan (Wüst & Menzel 2017). Selanjutnya, CHC
menengahi interspesifik pengakuan antara inang dan parasit (Lenoir & al.
2001b) dan antara mutualis (Menzel & al. 2014) . Tentu saja, banyak fungsi
berarti banyak, dan mungkin saling bertentangan. Interaksi yang kompleks dari
semua ini berbeda fungsi membuat evolusi CHC sangat kompleks dan menarik. 2.8.1 CHC Terhadap
Variasi Antar KoloniProfil
CHC dari serangga sosial biasanya khusus untuk koloni, dan ini berlaku untuk
kedua jenis kelamin (Oppelt & al. 2008). Populasi yang lebih beragam secara
genetik juga secara kimiawi lebih beragam, misalnya, pada semut invasif Linepithema humile. Secara keseluruhan,
ini menunjukkan bahwa mayoritas variasi antar-koloni ditentukan secara genetik.
Bagi semut, variasi di antara koloni penting karena dua alasan: memungkinkan
semut mengenali dan mungkin merupakan hasil adaptasi lokal. Pengakuan Nestmate
dimediasi oleh perbedaan hidrokarbon kutikula di antara koloni (Sturgis &
Gordon 2012). Jarak kimia antara dua lawan biasanya berkorelasi dengan agresi
mereka terhadap satu sama lain (Smith & al. 2013), dan agresi
antar-kolonial lebih tinggi dalam kimia yang lebih beragam. populasi (Errard
& al. 2005). Di sini, model Gestalt mengasumsikan bahwa di dalam koloni,
semut bertukar hidrokarbon. Dengan cara ini, mereka dapat mencapai bau spesifik
koloni yang agak seragam, yang memungkinkan diskriminasi antara teman satu
sarang (dengan tanda tangan yang sama dengan diri sendiri) dan orang yang bukan
teman satu sarang (dengan tanda tangan yang berbeda) (Crozier & Dix 1979). Pertukaran
hidrokarbon di antara para semut pekerja sebagian besar dimediasi oleh kelenjar
postpharyngeal, di mana CHC disimpan, dicampur dan didistribusikan kembali
(Soroker & al. 1994, 1995). Menariknya, hubungan ini berlaku bahkan pada
serangga non-sosial: kecoak suka berteman menggunakan CHC kesamaan untuk
pengakuan kerabat (Lihoreau & al. 2016), menunjukkan pengakuan kerabat
bermediasi CHC sebagai prekursor potensial pengenalan sarang (Leonhardt &
al. 2016). Di samping orang dewasa, pupa juga dapat membawa isyarat pengakuan
sarang, yang memengaruhi cara mereka dirawat oleh perawat (mis., Dalam tingkat
pengambilan induk (Pulliainen & al. 2018). 2.9 Jenis Perangkap Sebagai Metode
Perangkap Semut
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan tentang jebakan
Multilure yang diberi umpan dengan
penarik Strepha Trapha dapat mewakili
alat yang berguna untuk pengambilan sampel semut. Ini metode pengambilan sampel
dapat memiliki beberapa keuntungan di masa depan untuk meningkatkan inventaris
semut di Meksiko dan dunia. Godaannya tampaknya menarik untuk semut Azteca
dengan kebiasaan arboreal, yang dilaporkan untuk pertama kalinya di Tamaulipas.
Jumlah spesies yang dilaporkan dalam penelitian ini berbeda dengan yang
dilaporkan oleh García-Martínez et al. (2018), yang mencatat 3.626 pekerja
semut dan 54 spesies dengan menggunakan metode pemantauan lalat buah di habitat
yang berbeda. Mereka menyoroti penggunaan umpan Cera Trap sebagai alternatif yang sangat efektif untuk pengambilan
sampel semut. Singkatnya, batas wilayah Neotropis di timur laut Meksiko sebagai
tempat perlindungan bagi beberapa spesies Formicidae saat ini tidak diketahui.
Dengan demikian, umpan sintetis untuk memantau tephritids menghasilkan pendekatan
yang menarik untuk mendokumentasikan keanekaragaman semut arboreal di zona
transisi antara kawasan Neotropis dan Nearctic. Selain itu, penelitian lebih
lanjut disarankan untuk menilai peran zona ini untuk konservasi keanekaragaman
semut dan proses ekologis transisi yang melibatkan kelompok serangga ini. Gambar 3. Multilure trap baited trap with 300 ml of strepha trap: on a tree in the biosphere reserve “El Cielo.” (Eligio et al, 2020) Metode
baited trap dipakai pada tempat-tempat yang sulit seperti semut yang berada
dalam lubang, serasah daun dan kayu-kayuan. Caranya potongan madu dan ikan tuna
kaleng diletakkan di kertas. Kondisi ini diharapkan semut yang berada pada
tempat yang sulit akan datang, sehingga diperoleh jenis-jenis semut tanah dan
sekaligus tahu peranan semut pada habitatnya (Wielgoss et al,, 2010 dalam
Hasriyanty et al.,2013). Pengambilan sampel semut dikerjakan satu jam
dengan mengamati semut-semut tanah yang memakan umpan setiap 15 menit. Metode
yang digunakan yaitu pit fall trap (perangkap sumuran) (Bestelmeyer
& Wiens, 2000). Pengambilan sampel dilakukan dengan membuat petak
plot diagonal pada lokasi sawah organik dan anorganik dengan ukuran sesuai
kebutuhan. Setiap petak plot memiliki jarak tertentu berjarak dan tiap petak plot
terdapat beberapa titik plot sebagai ulangan . Umpan hama dan larutan gula
diletakkan pada gelas plastik yang ditanam pada tanah dengan mulut gelas
plastik sejajar permukaan tanah. Kemudian, gelas plastik berisi umpan hama,
umpan daging ikan, dan umpan larutan gula dibiarkan selama 24 jam hingga semut
memakan umpan. Setelah 24 jam, gelas plastik berisi umpan yang telah terdapat
semut diambil dan dimasukkan ke dalam botol sampel yang berisi alkohol 70% lalu
ditutup dengan penutupnya untuk kemudian dilakukan identifikasi di
laboratorium. Umpan
hama digunakan untuk mengetahui aktivitas predasi semut dan ketertarikan semut
terhadap hama di lahan sawah. Hal ini dikarenakan terdapat jenis semut yang
menyukai serangga herbivor. Hama yang digunakan sebagai umpan yaitu walang
sangit (Leptocorixa acuta), belalang hijau (Atractomorpha crenulata),
kepik daun (Pentatomidae), dan kutu daun (Aphidoidea). Jenis ikan yang
digunakan sebagai umpan yaitu ikan tuna. Menurut Zulkarnain (2006), ikan tuna
adalah jenis ikan yang memiliki kandungan protein yang tinggi dan lemak yang
rendah. Semut predator menyukai makanan yang mengandung protein.Semut menyukai
makanan yang mengandung glukosa, sedangkan glukosa dibutuhkan semut sebagai
sumber energinya. 2.10
Aktivitas semut musimanMenurut
Analisis Korespondensi, dinamika temporal semut di habitat yang berbeda yang
disampel di sini dikategorikan ke dalam tiga kelompok. Akibatnya, suhu adalah
faktor terpenting yang mempengaruhi variasi spasial dan temporal semut yang
kemudian dapat dianggap sebagai termofilik (Hölldobler & Wilson, 1990).
Pfeiffer et al. (2003) juga mencatat
bahwa distribusi semut di stepa Mongolia tergantung pada amplitudo suhu.
Selanjutnya, semut pemanen benih, seperti M.
sanctus, M. medioruber, M. arenarius dan P. pallidula, tampaknya lebih
banyak dan aktif di musim gugur. Spesies ini adalah konsumen benih yang penting
dalam beberapa ekosistem gurun (Pirk et
al., 2009). Dalam sebuah studi tentang aktivitas semut Mediterania,
melaporkan aktivitas pencarian semut maksimum dari genus Messor dan P. pallidula
selama musim gugur (September dan Oktober), kecuali untuk M. capitatus yang lebih aktif selama musim panas. Selain itu, Cros et al.
(1997) mengamati bahwa spesies ini terutama aktif pada senja dan malam hari
selama bulan-bulan musim panas, serta C.
thoracicus dan C. barbaricus.
DAFTAR
PUSTAKA
Agosti,
D., Majer, J., Alonso, L., dan T. Schultz. 2000. Ants Standard Methods for
Measuring and Monitoring Biodiversity. Smithsonian Institution Pr Washington. Andersen
AN. 1997. Using ants as bioindicators: multiscale issues in ant community
ecology. Available at: http://www.consecol.org/vol1/iss1/art8/ [accessed 8 Juli
2013]. Andersen
AN. 2000. Global ecology of rainforest ants: functional groups in relation to
environmental stress and disturbance. In: Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR (Eds.), Ants: Standard
Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity. pp. 25–34. Washington:
Smithsonian Institution Press. Anjali Kumar &
Sean O & Donnell., 2007. Fragmentation And Elevation Effects OnVBird
Army Ant Interactions In Neotropical Montane Forest Of Costa Rica.
Journal of Tropical Ecology .Volume 23 (05) Cambridge University Press. Benson
WW. 1985. Amazon ant-plants, pp. 239–266 In Prance GT, Lovejoy TE [eds.], Amazonia. Pergamon Press, Oxford, England. Bharti H, Silla S. 2011.
Note on life history of (fabricius) and its potensial as agent. Halteres.
3:1-8. Blomquist, G.J. & Bagnères, A.-G. 2010: Introduction: history and overview of insect hydrocarbons. In: Blomquist, G.J. & Bagnères, A.-G. (Eds.): Insect hydrocarbons: biology, biochemistry, and chemical ecology. – Cambridge University Press, New York, NY, pp. 3-18. Bolton B, Alpert G, Ward PS, Naskrecki P. 2007. Bolton’s Catalogue of Ants of the World. Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, USA. Bodlah,
I. Rasheed, M.T., Gull-e-Fareen, A., Ajmal, M.S. and Bodlah, M.A., 2016. First
record of two new species of genus Tetraponera (Hymeoptera:
Pseudomymecinae: Formicidae) from Pakistan. J. Ent. Zool. Stud., 4:
1028-1030. Borror
DJ, Triplehorn CA, Johnson N. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Eds 6.
Gadjha Mada University Press. Penerjemah. Yogjakarta: UGM Press. Terjemahan
dari An Introduction To The Study Of Insects. Buellesbach, J., Gadau, J.,
Beukeboom, L.W., Echinger, F., Raychoudhury, R., Werren, J.H. & Schmitt, T.
2013: Cuticular hydrocarbon divergence in the jewel wasp Nasonia: evolutionary
shifts in chemical communication channels? – Journal of Evolutionary Biology
26: 2467-2478. Sestelmeyer, B. & J.
Wiens. 2000. The Effects of Land Use on The Structure of Ground- Foraging Ant
Communities in The Argentine Chaco. Austral. Ecol., 67:137 - 145. Carlson, D.A., Mayer, M.S.,
Silhacek, D.L., James, J.D., Beroza, M. & Bierl, B.A. 1971: Sex attractant
pheromone of the house fly: isolation, identification and synthesis. – Science
174: 76-78. Collingwood,
C.A., 1961. The third Danish expedition to Central Asia. Zoological Results 27.
Formicidae (Insecta) from Afghanistan. Vidensk. Medd. Dan. Naturhist. Foren., 123: 51-79. Cooper, R., Lee, H., González,
J.M., Butler, J., Vinson, S.B. & Liang, H. 2009: Lubrication and surface
properties of roach cuticle. – Journal of Tribology 131: art. 014502. Cros, S., Cerdá, X., Retana, J. (1997). Spatial and
temporal variations in the activity patterns of Mediterranean ant communities.
Ecoscience, 4: 269-278. Dlussky,
Denis J.B., A.P., Rasnitsyn. 2000. The First Late Cretaceous Ants (Hymenoptera:Formicidae)
From Shouter Africa With Comments On The Original The Myrmicinae. Insect Syst,
E vol. 35. (Skripsi Program Strata 1 IAIN Raden Intan Lampung. 2014). Errard, C., Delabie, J.H.C.,
Jourdan, H. & Hefetz, A. 2005: Intercontinental chemical variation in the
invasive ant Wasmannia auropunctata (Roger) (Hymenoptera:
Formicidae): a key to the invasive success of a tramp species. –
Naturwissenschaften 92: 319-323. Eleanor.
(2013). Book of Common Ants. Raleigh: Your wild life.ISBN-10:
022644581X, pp:1-96. URL: https://www.amazon.com/Dr-Eleanors-Book
Common-Ants/dp/022644581X. De
la Mora A, Perez-Lachaud G, Lachaud JP, Philpott SM. 2015. Local and landscape drivers
of ant parasitism in a coffee landscape. Environmental Entomology 44: 939–950. DuBois
M. 1986. A revision of the native New World species of the ant genus Monomorium
(minimum group) (Hymenoptera: Formicidae). The University of Kansas
Science Bulletin 53: 65–119.
Falahudin,
I., S. Rizal and Dahlia. 2011. Keanekaragaman Semut Predator Arboreal (Hymenoptera:
Formicidae) di Perkebunan Kelapa Sawit SPPN Sembawa Banyuasin. Institut Agama
Islam Negeri Raden Fatah. Palembang. García-Martinez
M, Presa-Parra E, Valenzuela-Gonzalez J, Lasa R. 2018. The fruit fly lure
CeraTrap: an effective tool for the study of the arboreal ant fauna (Hymenoptera:
Formicidae). Journal of Insect Science 18: 1–7. Garden,
J., McAlpine, B., Possingham, C.,dan N. Jones. 2007. Habitat Structure is More
Important Than Vegetation Composition for Local Level Management Terrestrial
Reptile and Small Mammal Species Living in Urban Remnants: A Case Study from
Brisbane, Australia. Austral Ecol 32: 669-685. Gibb H, Hochuli DF. 2003. Colonisation by adominant
ant facilitated by anthropogenic disturbance: effects on ant assemblage
composition, biomass and resource use. Oikos.103:469–478. doi: http://dx.doi.org/10.1034/j.1600-0706.2003.12652.x. Gillette
PN, Ennis KK, Domínguez-Martínez G, Philpott SM. 2015. Changes in species
richness, abundance, and composition of arboreal twig‐nesting ants along
an elevational gradient in coffee landscapes. Biotropica 47: 712–722. Giller,
G. 2002. Biodiversity and Ecosystem Function: Do Species Matter. Biology and
Environment 3: 129 – 139. Hasriyanty,
Rizali, A. & Buchori, D. (2013). Keanekaragaman Semut dan Pola
Keberadaannya pada Daerah Urban. Jurnal Entomologi Indonesia, 12 (1):
39-47. DOI: 10.5994/jei. 12.1.39. Hasriyanty,
A. Rizali, & D. Buchori. 2015. Keanekaragaman Semut dan Pola Keberadaannya
pada Daerah Urban di Palu, Sulawesi Tengah. Jurnal Entomologi Indonesia. ISSN:
1829-7722. Hasriyanty,
Rizali, A. & Buchori, D. (2016). Keanekaragaman Semut dan Pola
Keberadaannya pada Daerah Urban. Jurnal Entomologi Indonesia, 12 (1):
39-47. DOI: 10.5994/jei. 12.1.39. Holldobler,
B., dan Wilson, E., 1990. The Ants. Cambridge Massachusetts: Harvard
Univ Pr. Pp 17 - 44. Ikbal,
M., N.S. Putra, & E. Martono. 2014. Keragaman Semut pada Ekosistem Tanaman
Kakao di Desa Banjaroya Kecamatan Kalibawang Yogyakarta. Jurnal Perlindungan
Tanaman Indonesia, Vol. 18, No. 2, 2014: 79–88. Palu : Universitas
Muhammadiyah Palu. Kather, R. & Martin, S.J. 2012:
Cuticular hydrocarbon profiles as a taxonomic tool: advantages, limitations and
technical aspects. – Physiological Entomology 37: 25-32. Krebs,
C.J. 1989. Ecological Methodology. Harper and Row Publisher. New York. Kahono
dan Amir. 2003. Ekosistem dan Khasanah Serangga Taman Nasional Gunung
Halimun dalam Amir & Kahono (editor) Serangga Taman Nasional Gunung
Halimun Jawa Barat. Biodiversity Conservation Project. Hal : 10-12. Lessard,
J.; Buddle, C.M. The effects of urbanization on ant assemblages (Hymenoptera:
Formicidae) associated with the Molson nature reserve, Quebec. Can. Entomol. 2005, 137, 215–225. Lihoreau, M., Rivault, C. &
Zweden, J.S. van 2 016: K in discrimination increases with odor distance in the
German cockroach. – Behavioral Ecology 27: 1694-1701. Lenoir, A., D’Ettorre, P. &
Errard, C. 2001b: Chemical ecology and social parasitism in ants. – Annual
Review of Entomology 46: 573-599. Leonhardt, S.D., Menzel, F., Nehring,
V. & Schmitt, T. 2016: Ecology and evolution of communication in social
insects. – Cell 164: 1277-1287. Longino
JT. 2007. A taxonomic review of the genus Azteca in Costa Rica and a global
revision of the aurita group. Zootaxa 1491: 1–63. Longino
JT, Cox DJ. 2009. Pheidole bilimeki reconsidered (Hymenoptera:
Formicidae). Zootaxa 1985: 34–42. Latumahina,
F., Musyafa, M., Sumardi & Putra, N.S. (2015). Respon Semut terhadap
KerusakanAntropogenik dalam Hutan Lindung Sirimau Ambon. Jurnal Manusia dan
Lingkungan, 22(2): 169-178. DOI https://doi.org/10.22146/jml.18739. Mackay
WP, Mackay E. 2002. The Ants of New Mexico (Hymenoptera: Formicidae). Edwin
Mellen Press, Lewiston, New York, USA. Mackay
W, Mackay E. 2018. The Ants of North America. Centennial Museum, Laboratory for
Environmental Biology, The University of Texas, El Paso, Texas. USA.
https://www.utep.edu/leb/ants/Camponotus.htm (last accessed 22 Dec 2019). Martin, S.J. & Drijfhout, F.P.
2009a: How reliable is the analysis of complex cuticular hydrocarbon profiles
by multivariate statistical methods? – Journal of Chemical Ecology 35: 375-382. Matlock
RB Jr, de la Cruz R. 2002. An inventoryof Parasitic Hymenoptera in banana
plantations under two pesticide regimes. Agriculture, Ecosystems &
Environment 93:147–164. doi: http://dx.doi.org/10.1016/S0167-
8809(02)0000 2-6. Mele,
P.V. & Cuc, N.T.T. (2004). Semut sahabat petani: meningkatkan hasil
buah-buahan dan menjaga kelestarian lingkungan bersama semut rangrang.
Diterjemahkan oleh: Subekti Rahayu. Bogor: World Agroforestry Centre.ISBN
979-3198-15- X, pp: 1-66. URL : http://www.worldagroforestry.org/publication/se
mut-sahabat-petani-meningkatkan-hasil-buah-buahandan-menjaga-kelestarian-lingkungan. Menzel, F., Orivel, J., Kaltenpoth,
M. & Schmitt, T. 2014: What makes you a potential partner? Insights from
convergently evolved ant-ant symbioses. – Chemoecology 24: 105-119. Nakamura,
A., Catterall, C., House, A., Kitching, R., dan C. Burwell. 2007. The Use of
Ants and Other Soil and Litter Arthropods as Bioindicators of The Impacts of
Rainforest Clearing and Subsequent Land Use. Journal Insect Conserv. 11:
177-186. Oppelt, A., Spitzenpfeil, N.,
Kroiss, J. & Heinze, J. 2008: The significance of intercolonial variation
of cuticular hydrocarbons or inbreeding avoidance in ant sexuals. – Animal Behaviour
76: 1029-1034. Pecarevic,
M. 2010. Biodiversity on Broadway - Enigmatic Diversity of the Societies of
Ants (Formicidae) on The Streets of New York City. Journal Appl Ecol 5(10) :
121-125. Peck
SL, Mcquaid B, Campbell CL. 1998. Using ant species (Hymenoptera: Formicidae)
as a biological indicator of agroecosystem condition. Environmental Entomology
27:1102–1110. doi: http://dx.doi.org/10.1093/ee/27.5.1102. Peterson,
C. & Seligman, M.E.P. (2004). Character strengths and virtues: a handbook
and classification. New York: Oxford University Press. Pfeiffer, M., Chimedregzen, L., Ulykpan, K. (2003).
Community organization and species richness of ants (Hymenoptera/ Formicidae)
in Mongolia along an ecological gradient from steppe to Gobi desert. Journal of
Biogeography, 30: 1921 1935. Pirk, G.I., Di Pasquo, F. Y., Lopez, D. E., Casenave,
J. (2009). Diet of two sympatric Pheidole spp. ants in the central Monte
desert: implications for seed–granivore interactions. Insectes Sociaux, 56:
277-283. Peng,
R.K., Christian, K. dan Gibb, K. 1995. The effect of the green ant, Oecophylla
smaragdina (Hymenoptera: Formicidae), on insect pests of cashew trees in
Australia’, Bulletin of Entomological Research, 85 (2): 279–284. Pulliainen, U., Bos, N., D’Ettorre,
P. & Sundström, L. 2018: Caste-dependent brood retrieval
by workers in the ant Formica exsecta. – Animal Behaviour 140: 151-159. Putra,
I.M., Hadi, M. Dan Rahardia, R. 2017. Struktur Komunitas Emut (Hymenoptera:
Formicidae) Di Lahan Perttanian Organik Dan Anorganik Desa Bultur, Kecamatan
Getasan, Kabupaten Semarang. Bioma. Vol.19, No.2, Hal. 170-179. Rahmawati.
(2004). Studi Keanekaragaman Mesofauna Tanah di Kawasan Hutan Wisata Alam
Sibolangit. USU e-USU repository: 1-17. URL:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/9 10/1/hutan-rahmawaty12.pdf. .
Rizali,
A., Bos, M.M., Buchori, D., Yamane, S. & Schulze, C. H. (2008). Ants in
tropical urban habitats: the myrmecofauna in a densely populated area of Bogor,
West Java, Indonesia. HAYATI Biosciences,15: 7784.DOI:
https://doi.org/10.4308/hjb.15.2.77 . Rizali,
A. 2007. Keragaman Semut di Kepulauan Seribu, Indonesia [tesis]. Institut
Pertanian Bogor. Sarnat
E. 2012. AntKey, Camponotus atriceps. http://antkey.org/en/content/
camponotus-atriceps-1 (last accessed 22 Dec 2019). Shahabudin.
2011. Effect of Land Use Change on Ecosystem Function of Dung Beetles:
Experimental Evidence From Wallacea Region in Sulawesi. Jurnal biodiversitas 3
: 177-181. Sharaf,
M.R., Aldawood, A.S. dan Taylor, B. 2012. A New Ant Species of The Genus
Tetramorium Mayr, 1855 (Hymenoptera: Formicidae) From Saudi Arabia, With a
Revised Key to The Arabian Species. PloS ONE, 7 (2): 1-9. Shattuck,
S.S. 1992. Australian Ant: Their Biology and Identification. Australia
(AU): CSIRO. Shattuck,
S. 2000. Australian Ants: Their Biology and Identification. Collingwood:
CSIRO Sydney. Pp 197 - 199. Smith, A.A., Millar, J.G., Hanks,
L.M. & Suarez, A.V. 2013: A conserved fertility signal despite
population variation in the cuticular chemical profile of the trap-jaw ant Odontomachus
brunneus. – Journal of Experimental Biology 216: 3917-3924. Soroker, V., Vienne, C. &
Hefetz, A. 1995: Hydrocarbon dynamics within and between nestmates in Cataglyphis
niger (Hymenoptera, Formicidae). – Journal of Chemical Ecology 21: 365-378. Soroker, V. & Hefetz, A. 2000:
Hydrocarbon site of synthesis and circulation in the desert ant Cataglyphis
niger. – Journal of Insect Physiology 46: 1097-1102. Steiger, S., Peschke, K., Francke,
W. & Müller, J.K. 2007: The smell of parents: Breeding status influences
cuticular hydrocarbon pattern in the burying beetle Nicrophorus
vespilloides. – Proceedings of the Royal
Society B-Biological Sciences 274: 2211-2220. Stephens,
S., dan M. Wagner. 2006. Using Ground Foraging Ant (Hymenoptera: Formicidae)
Functional Groups as Bioindicators of Forest Health in Northern Arizona
Ponderosa Pine Forests. Environ Entomol 35: 937- 949. Sturgis S.J. & Gordon, D.M.
2012: Nestmate recognition in ants (Hymenoptera: Formicidae): a review. –
Myrmecological News 16: 101-110. Suin,
N. M. (2007). Ekologi Hewan Tanah. Bandung: Bumi Aksara.ISBN: 979-526-082-0,
pp: 1-204. URL: http://library.fip.uny.ac.id/opac/index.php?p=sho
w_detail&id=6381. Tauruslina,
A.E., Trizelia, Yaherwandi, H. Hamid. 2015. Analisis Keanekaragaman Hayati Musuh
Alami pada Ekosistem Padi Sawah di Daerah Endemik dan Non-endemik Wereng Batang
Coklat Nilaparvata lugens di Sumatera Barat. Pros Sem Nas Masy Biodiv
Indon. 1(3):581-589. Umair,
M., Zia, A., Naeem, M. and Chaudhry, M.T., 2012. Species composition of ants
(Hymenoptera: Formicidae) in Potohar Plateau of Punjab Province, Pakistan. Pakistan
J. Zool., 44: 699-705 Wilson
EO. 2003. Pheidole in the New World: A Dominant, Hyperdiverse Ant Genus.
Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, USA. Wulandari,
S., Sugiyarto, & Wiryanto. 2005. Dekomposisi Bahan Organik Tanaman serta Pengaruhnya
terhadap Keanekaragaman Mesofauna dan Makrofauna Tanah di Bawah Tegakan Sengon
(Paraserianthes falcataria). BioSMART volume 7, no. 2 : 104-109. Whitmore,T.
2000. The Case of Tropical Rain Forests. The Sustainable Development of
Forests: Aspirations and The Reality. Naturzale 15: 13-15. Wurdack, M., Polidori, C., Keller,
A., Feldhaar, H. & Schmitt, T. 2017: Release from prey preservation
behavior via prey switch allowed diversification of cuticular hydrocarbon profiles
in digger wasps. – Evolution 71: 2562-2571. Wüst, M. & Menzel, F. 2017: I
smell where you walked – how chemical cues influence movement decisions in
ants. – Oikos 126: 149-160. Zulkarnain, S. 2006.
Preferensi Semut Permukiman Terhadap Berbagai Jenis Umpan. Skripsi. Bogor :
Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. |
1 komentar:
Semut banyak keanekaragamannya, dan fungsinya pun banyak. Tapi sebagai masyarakat awam masih belum mengetahui apalagi mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari
Posting Komentar