Mengetahu,
Menyetujui
Ketua Rombongan KKL 2019
Dr.rer.nat. Tri Dewi Kusumaningrum P.,M.Si
NIP.19740211200512001
Segala
puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan penulis
kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan “Project Base Learning” tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya penulis tidak akan sanggup untuk menyelesaikan laporan KKL dengan “Project
Base Learning” ini dengan baik.
Penulis
mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan karunia-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan laporan KKL dengan cara Project Base Learning dengan judul “Keanekaragaman Semut
(Hymenoptera) yang telah diubah judulnya dari “Keanekaragamaan Semut
(Hymenoptera) di Padang Rumput Cikamal, Pananjung Pangandaran, Jawa Barat” karena peserta KKL tidak dapat melakukan
penelitian langsung ke lapangan karena masa pandemi COVID-19.
Project
Base Learning
ini merupakan suatu pengganti tugas Kuliah Kerja Lapangan (KKL) yang dilakukan
dengan cara menyintesis jurnal yang berkaitan dengan judul terkait yang akan
membentuk suatu sumber data yang padat sehingga menjadi informasi tersusun yang
dapat dipelajari kedepannya. Penulis berharap laporan KKL dengan cara Project
Base Learning ini dapat memberikan informasi penting terhadap peneliti,
mahasiswa, serta masyarakat umum bahwa pentingnya kita mengetahui
keanekaragaman semut karena hal tersebut penulis berharap ada hal yang dapat dilakukan
kedepannya mengenai kelestarian semut seperti bagaimana
kita untuk menjaga agar keanekaragaman semut tetap terjaga baik perannya di
alam. Penulis tentu menyadari bahwa laporan Project Base Learning ini
masih masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk laporan ini, agar
nantinya dapat bermanfaat.
Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen Pembimbing yang sudah membimbing, membantu dan
memberi dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan Project
Base Learning dengan baik. Kepada teman-teman Delphinus delphis yang memberi
dukungan dan semangat selama belajar bersama di Bologi UNPAD.
Demikian
laporan KKL dengan Project Base Learning ini dibuat, semoga laporan Project
Base Learning ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
Jatinangor, April 2020
Penulis
Dalam
penyusunan laporan KKL dengan cara Project Base Learning ini tidak
terlepas dukungan dari berbagai pihak. Penulis
secara khusus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu. Penulis banyak
menerima bimbingan, petunjuk dan bantuan serta dorongan dari berbagai pihak
memberi dukungan untuk menyelesaikan laporan Project Base Learning.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa
dengan segala rahmat serta karunia-Nya yang memberikan kekuatan bagi penulis dalam menyelesaikan
laporan Project
Base Learning.
2. Kepada
kedua orang tua yang mendukung memberi semangat mengerjakan tugas perkuliahan
serta dukungan doa.
3. Kepada
Bapak Prof. Dr. Wawan, S.Si. selaku
dosen pembimbing yang selalu memberikan
dukungan, dorongan dan arahan pada saat pra kuliah lapangan dan mengerjakan
Project Base Learning sebagai pengganti KKL.
4. Kepada Dr. Eneng Nunuz Rohmatullayaly,
M.Si, sebagai dosen pembimbing lapangan KKL 2017 dan memberi waktu untuk
berdiskusi dan banyak membantu demi kelancaran pada saat pra KKL.
5. Kepada ketua
rombongan KKL Dr.rer.nat.
Tri Dewi Kusumaningrum P.,M.Si yang bekerja
keras untuk membantu selama kegiatan pra KKL dan tetap memberikan waktu diskusi
serta arahan ketika KKL dialihkan menjadi tugas Project
Base Learning.
6. Kepada dosen dan staf pengajar Departemen Biologi
UNPAD yang memberikan fasilitas dan pelayan teradap bidang akademik sehingga
penulis dari angkatan Delphinus delphis dapat menerima pelayanan dan
informasi dengan baik untuk membantu kelancaran pra
KKL, pembelajran secara
daring (dalam jaringan) sehingga setiap informasi baru tetap dapat diterima
oleh mahasiswa Biologi 2017.
7. Kepada Kevin Krishna selaku Ketua Pelaksana KKL 2020 yang
sudah berjuang agar KKL ini dapat berjalan dengan baik, serta setiap usaha
untuk menyukseskan KKL ini mulai dari pembentukan organisasi KKL , membantu
logistik KKL H-1 keberangkatan namun tidak dapat
dilangsungkan. Namun semangat tetap ada.
8. Kepada seluruh anggota Divisi Fasilitator KKL, yaitu
Fauzan Diaz (ketua divisi), M Ariq Rafi, Dely Maulana, Ismail Gulam, L Hakim,
Nuansa Purnama Bangsa, Aghnie Pafeshary, Erin Triani, Febri Deyanti Putri,
Maulida Isfahani N, Nanda dan Widi Granita sebagai teman satu divisi yang
berjuang memfasilitasi kegiatan KKL
9. Serta
kepada teman-teman Biologi Unpad 2017 (Delphinus delphis) yang bersama-sama
berusaha menyelesaikan tugas baik dalam perkuliahan.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa membalas
semua kebaikan yang telah diberikan. Semoga laporan praktikum ini dapat
bermanfaat bagi peneliti umumnya dan kepada para pembaca.
Jatinangor, 30 April 2020
Penulis
KATA PENGANTAR.. i
UCAPAN TERIMA KASIH.. iii
DAFTAR ISI. v
BAB I. 1
PENDAHULUAN.. 1
1.1 Latar
Belakang. 1
1.2 Identifikasi
Masalah. 3
1.3 Tabel Sintesis
Jurnal 4
BAB II. 65
HASIL SINTESIS. 65
2.1. Keanekaragaman
Semut 65
2.2 Pola dan Habitat
Keberadaan Semut 66
2.3.Tipe-tipe Kelompok
Semut Berdasarkan Fungsi/Respon Terhadap Habitat 69
2.5.1 Tipe Opportunist 69
2.5.2 Tipe Dominant Dolichotiderinae. 70
2.5.3 Tipe Subordinate Componitini 70
2.5.4 Tipe Generalized Myrmicinae. 70
2.5.5 Tipe tropical Climate Specialis. 70
2.5.6 Tipe Spesialis Predator. 71
2.5.7 Tipe Cryptic Species. 71
2.5.8 Respon Semut Terhadap Kerusakan Antropogenik. 71
2.4 Faktor Abiotik dan
Biotik Mempengaruhi Keberadaan Semut 73
2.5 Peran Semut 75
2.6 Karakteristik Semut
Pekerja dan Semut Ratu. 80
2.6.1 Semut Pekerja. 80
2.6.2 Semut Ratu. 82
2.7 Tipe-tipe Semut
Pekerja. 82
2.7.1 Azteca schimperi
Emery. 82
2.7.2 Camponotus
Striatus (Smith). 83
2.7.3 Camponotus
Atriceps (Smith). 83
2.7.4 Colobopsis
Etiolata (Wheeler). 83
2.7.5 Forel Camponotus
Mina. 84
2.7.6 Punctatissima
Mayr Pheidole. 84
2.7.7 Forel Monomorium
Ebeninum.. 84
2.8 Hidrokarbon CHC
Pada Semut 84
2.8.1 CHC Terhadap Variasi Antar Koloni 86
2.9 Jenis Perangkap
Sebagai Metode Perangkap Semut 87
2.10 Aktivitas semut musiman. 89
DAFTAR PUSTAKA.. 91
Keanekaragaman hayati dapat diartikan sebagai
keanekaragaman mahkluk hidup di bumi, baik daratan maupun tempat lainnya. Salah
satu keanekaragaman yang ada di dalamnya adalah keanekaragaman jenis semut.
Semut (Hymenoptera: formicidae)
adalah serangga yang ditemukan pada hampir setiap jenis ekosistem kecuali
daerah kutub dan memiliki beragam peran dalam ekosistem dan sangat melimpah di
kepulauan manapun daratan yang luas dan diperkirakan mencapai 15.000 spesies.
Semut dapat berperan sebagai indikator ekologi untuk menilai kondisi ekosistem
karena semut mudah dikoleksi dengan cara yang bisa distandarisasi, menyebar
dalam jumlah yang banyak dalam suatu lokasi dan memungkinkan untuk
diidentifikasi (Dlussky et al, 2000).
Semut merupakan salah satu kelompok hewan yang dikatakan sebagai indikator hayati,
sebagai alat monitoring perubahan kualitas lingkungan dan penentuan kawasan
konservasi. Hal ini didukung oleh beberapa sifat yang dimiliki semut, yaitu
hidup di berbagai habitat, mempunyai toleransi yang sempit terhadap perubahan
lingkungan, biomassa dominan, mempunyai sifat penting dalam ekosistem, mudah di koleksi serta
secara taksonomi relatif maju (Falahudin, 2012). Diantara kelompok insecta, semut
dianggap paling berhasil dalam beradaptasi. Hewan tersebut dapat hidup hampir
disemua tempat pada habitat dalam jumlah
yang melebihi individu hewan terestrial lainnya (Borror et al, 1996).
Semut berperan penting
dalam ekosistem terestrial sebagai predator, scavenger, herbivor, detritivor,
dan granivor, serta memiliki peranan unik dalam interaksinya dengan tumbuhan
atau serangga lain. Sejak kemunculannya, semut telah berkembang menjadi makhluk
yang paling dominan di ekosistem teresterial. Semut secara ekonomi kurang bermanfaat
langsung bagi manusia, namun bila dilihat secara ekologi
dapat bermanfaat untuk hewan lain dan tumbuhan, karena dalam rantai makanan memiliki peran yang sangat
penting. Dari 750.000 spesies serangga di dunia, 9.500
atau 1,27% di antaranya adalah semut (Holldobler dan Wilson, 1990).
Perubahan habitat sangat memengaruhi keberadaan semut. Respon semut yang
sangat sensitif terhadap perubahan habitat menjadikan semut dapat digunakan
sebagai bioindikator dari gangguan habitat (Andersen 1997; Peck et
al.1998; Andersen 2000), termasuk juga pengaruh pestisida (Matlock & de la
Cruz 2002). Beberapa spesies semut mampu memanfaatkan terjadinya peningkatan
suhu melalui peningkatan aktivitas dan koloni, yang menyebabkan perubahan
struktur komunitas melalui mekanisme kompetisi (Gibb & Ho huli 2003). Keberadaan
tempat bersarang yang sesuai juga memengaruhi keberadaan semut. sebagai contoh,
perkakas rumah tangga dan makanan yang tersimpan di rumah menjadikan habitat yang sesuai untuk
tempat bersarang dan mencari makan bagi semut Tramp (Rizali et al. 2008).
Pendapat lain dari Anjali Kumar & O'Donnell (2007) bahwa semut dapat
digunakan untuk menilai kondisi ekosistem hutan untuk tujuan pencapaian
kesehatan hutan karena semut mempunyai korelasi yang kuat dengan beberapa
variabel ekosistem yakni vegetasi, iklim mikro, tanah, dan fauna tanah lainnya.
Semut sangat
sensitif terhadap perubahan lingkungan. Perubahan iklim akan mengubah pola hidup semut dalam
sebuah ekosistem sehingga semut akan tetap bertahan dan menyesuaikan diri, atau berpindah mencari
habitat yang baru dalam menghadapi tekanan lingkungan habitatnya (Peterson
& Seligman, 2004).
Penulis sangat
tertarik untuk melakukan penelitian tentang keanekaragaman semut karena semut
jarang diteliti khususnya di daerah Pananjung Pangandaran sehingga informasi
mengenai semut sangat awam serta semut memiliki peran yang cukup besar dalam
ekosistem. Hal ini dilakukan supaya dengan mengetahui keanekaragaman semut,
penulis berharap penelitian selanjutnya masih dilakukan secara berkelanjutan.
Namun, KKL tersebut tidak dapat dilakukan sehingga informasi mengenai kenanekaragaman
semut diperoleh dengan menyintesis jurnal dari berbagai tempat sehingga informasinya lebih
luas.
Berdasarkan uraian yang ada pada latar belakang, dapat
dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1.
Apa saja keanekaragaman semut (hymenoptera)
2.
Apa saja peran semut terhadap lingkungan
No.
|
Nama
jurnal
|
Pertanyaan
Masalah Jurnal
|
Teori
yang digunakan
|
Metodologi
Penelitian
|
Solusi
|
Sintesis
|
01
|
Judul: Keanekaragaman dan Dominansi Jenis Semut (Formicidae) di Hutan
Musim Taman Nasional Baluran Jawa Timur.
Penulis: Siriyah L.S. 2016.
Jurnal: Biota Vol. 1 (2):
85−90,
ISSN 2527-323X
|
·
Nilai indeks keanekaragaman semut
di ekosistem hutan musim di TNB
·
pengaruh Daya dukung ekosistem
terhadap keberadaan semut?
·
Jenis semut
yang memiliki dominansi tertinggi dan mengapa hal itu terjadi pada
daerah TNB
·
Peran spesies semut dalam lingkungan
|
Hutan
musim merupakan salah satu karakter TNB sebagai perwakilan ekosistem hutan
spesifik kering di Pulau Jawa. Pada ekosistem ini, kondisi vegetasinya sangat
dipengaruhi oleh musim. Keberadaan semut
memiliki peran penting dalam ekosistem di antaranya sebagai ecosystem
engeener atau soil engeener selama proses pembuatan sarang. Hal
ini membantu meningkatkan kesuburan tanah.
Semut merupakan salah satu kelompok serangga
yang dapat digunakan sebagai bioindikator ekosistem. Dalam hal ini semut ikut berperan dalam merombak
material organik. Material organik seperti serasah, batang dan cabang mati,
binatang mati merupakan produk hutan yang mutlak perlu dipecah menjadi
partikel yang lebih kecil, sehingga akhirnya dapat dirombak menjadi senyawa
organik atau nutrien yang dapat diserap kembali oleh tumbuhan. sebagai bioindikator ekosistem.
|
Koleksi spesimen dilakukan di ekosistem
hutan musim TNB. Koleksi dilakukan dengan menggunakan umpan gula, umpan ikan,
pit fall trap atau perangkap sumuran, pengayakan serasah dan koleksi
langsung / hand collecting. Area koleksi dibagi menjadi 5 stasiun.
Masing-masing stasiun dibagi menjadi 5 titik koleksi. Pada setiap titik
koleksi terdapat 5 umpan gula, 5 umpan ikan, 5 perangkap sumuran dan 5 titik
untuk litter shifting. Hand collecting dilakukan dengan
mengambil semut yang dijumpai di area titik koleksi. Spesimen hasil koleksi
kemudian disimpan dalam alkohol 70% dan selanjutnya di bawa ke laboratorium.
Preparasi dan identifikasi spesimen
dilakukan di Laboratorium Entomologi Fakultas Biologi Universitas Gadjah
Mada, Laboratorium Entomologi Dasar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah
Madadan di Laboratorium Entomologi Bidang Zoologi Puslit Biologi LIPI.
Preparasi spesimen dilakukan dengan menggunakan teknik card pointing,
sebagai salah satu teknik preparasi yang paling cocok untuk kelompok semut
(Gauld dan Bolton, 1996). Dalam teknik ini, spesimen ditempelkan di bagian
ujung tiangle card, dengan posisi perekat / lem di salah satu bagian sisi
ventral thorax.
Identifikasi spesimen berdasarkan
karakter morfologi dengan menggunakan kunci identifikasi yang berjudul Identification
Guide to The Ant Genera of The World Bolton (1994). Identifikasi juga
dilakukan dengan mencocokan spesimen hasil koleksi dengan spesimen koleksi
Museum Zoologicum Bogoriense, Puslit Biologi LIPI.
Dominansi jenis semut
diestimasi dengan menghitung indeks nilai penting (INP). Keanekaragaman semut
dihitung menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
|
Hasil identifikasi semut di hutan musim TNB
diperoleh 4 sub famili, 19 genus dan 40 spesies. Semut yang diperoleh di
ekosistem hutan musim TNB meliputi Sub Famili Myrmicinae, Dolichodorinae,
Ponerinae dan Formicinae. Nilai indeks keanekaragaman
semut di ekosistem hutan musim tergolong sedang yaitu sebesar 2,268. Berdasarkan hasil penghitungan nilai INP semut di
hutan musim terdapat 4 jenis yang memiliki nilai INP tinggi diantaranya Diacamma
sp1, Paratrechina longicornis, Anoplolepis gracilipes dan Monomorium
sp3.
Genus Tetramorium,
monomorium dan Pheidole merupakan genus yang memiliki jumlah spesies lebih
banyak dibandingkan anggota genus lain.
Genus Monomorium
yang diperoleh dari hasil koleksi di Hutan Musim TNB terdiri dari 6 spesies
antara lain Monomorium sp.1, Monomorium sp.2, Monomorium sp.3,
Monomorium sp.5, Monomorium sp.6 dan Monomorium sp.7. Monomorium
sp.3 memiliki keragaman paling tinggi, diantara anggota Genus Monomorium yang lain.
Daya dukung ekosistem terhadap keberadaan semut
dipengaruhi oleh berbagai faktor baik biotik maupun abiotik. Kondisi Iklim
mikro suatu wilayah akan berpengaruh pada jenis-jenis semut yang mampu berada
dalam wilayah tersebut.
Dominansi yang tinggi berikutnya adalah Diacamma
sp1, pada saat koleksi, Diacamma sp1 banyak diperoleh dari umpan
ikan segar yang dipasang di atas serasah. Spesies ini banyak dijumpai aktif
diserasah serta dijumpai sarang Diacamma sp1 berupa lubang di tanah
yang tertutup oleh serasah. Diacamma sp1 memiliki kisaran waktu
jelajah siang dan malam hari, hal ini dapat dilihat dari hasil koleksi bahwa
semut tersebut diperoleh dari perangkap sumuran yang dipasang pada siang dan
malam hari.
Anoplolepis gracilipes
memiliki keanekaragaman tertinggi setelah Diacamma sp1. Spesies ini merupakan semut yang sering
dijumpai sebagai hama di rumah-rumah warga. Hewan ini merupakan serangga
omnivor dan memiliki sumber pakan dengan kisaran luas serta bersifat invasif.
A. gracilipes di hutan musim TNB aktif pada siang dan
malam hari. Pada saat kegiatan koleksi, A. gracilipes diperoleh
melalui perangkap sumuran yang dipasang siang dan malam hari. A.
gracilipes juga tertarik pada umpan ikan dan umpan gula.
|
Semut
Hutan musim
Taman Nasional Baluran
Soil engeener
|
02
|
Judul: Pola Prilaku Keberadaan Semut Famili Formicidae pada Tepian
Sungai Musi Gandus Kota Palemb. ng Sumatera Selatan.
Penulis: Riyanto et al.,
Jurnal Biologi Tropis, 20 (1): 116 – 124
DOI:10.29303/jbt.v20i1.1735
|
·
pola perilaku semut
pada tepian sungai musi gandus kota Palembang
·
Faktor apa saja kah
yang mempengaruhi pola perilaku semut pada tepian sungai musi gandus kota Palembang
|
Faktor alam dan faktor manusia dapat
mempengaruhi keberadaan semut. semut dapat mengalami
dampak negatif yang diakibatkan degradasi dan fragmentasi habitat. Pada
kondisi ini kelimpahan, kekayaan dan frekuensi semut mengalami fluktuasi
dalam habitatnya. Semut mempunyai peran yang sangat penting di hutan
sekunder.
Gandus adalah daerah yang terletak di tepian
sungai Musi Palembang. Pada saat ini Gandus masih memiliki hutan dan
perkebunan. Namun karena aktivitas manusia, wilayah ini berangsur-angsur
mengalami perubahan faktor biotik dan abiotik yang sangat memengaruhi pola
keberdaan semut tanah dan fungsi lingkungan.
|
Lokasi pengambilan sampel semut meliputi:
tepi sungai Musi, rumah, kebun, hutan dan semak dengan jarak <100 m dari
badan sungai Musi, serta habitat rumah, semak, kebun, dan hutan yang berjarak
100-200 m dari badan sungai Musi. Metode penelitian ini adalah metode
deskriftif. Sampel semut diambil pada tiap-tiap perbedaan jarak dengan tepi
sungai Musi (5 meter).
Teknik pengambilan sampel semut adalah purposive sampling. Pengambilan
sampel semut tanah digunakan metode baited trap dan hand collecting
(Agosti, et al. 2000).
Lokasi sampel
ditentukan berdasarkan hasil survei, yaitu lokasi banyak terdapat semut
tanah. Selanjutnya lokasi stasiun penelitian didasarkanpada kondisi habitat
yang berbeda di tepian Sungai Musi. Stasiun-stasiun tersebut mewakili
permukiman warga. Metode penelitian ini
adalah metode deskriftif. Metode deskriptif, yaitu penelitian berdasarkan
realitas dan fakta keadaan di lapangan secara apa adanya.Sampel semut diambil
pada tiap-tiap perbedaan jarak dengan tepi sungai Musi. Teknik pengambilan
sampel semut adalah purposive sampling. Pengambilan sampel semut tanah
digunakan metode baited trap dan hand collecting
Lokasi
sampel ditentukan berdasarkan hasil survei, yaitu lokasi banyak terdapat
semut tanah. Selanjutnya lokasi stasiun penelitian didasarkan pada kondisi
habitat yang berbeda di tepian Sungai Musi. Stasiun-stasiun tersebut mewakili
permukiman warga.
|
Pola keberadaan semut tanah ditepian sungai
Musi Gandus Palembang bervariasi. Jumlah spesies semut
yang didapatkan cenderung meningkat seiring dengan berkurangnya aktivitas
manusia. Stasiun yang paling tinggi
keanekaragaman semut tanah adalah hutan dan yang paling rendah berada di tepi
Sungai Musi.
Stasiun Tepi sungai ditemukan spesies P.
megacephala. Sebanyak 452 individu semut hadir di tanah tepian sungai
Musi. Semut yang memiliki duri di propedeum ini membentuk garis pencarian
makan yang tinggi. Selain itu, P. megacephala terdiri dari semut
pekerja yang dimorfik (mayor dan minor). Contoh semut lain
yang tidak ditemukan di tepi sungai Musi adalah semut rangrang (Oecophylla
smaragdina). Semut dari subsuku Formicidae ini memiliki cara hidup yang
khas, yaitu dengan merajut daun-daun pohon sampai daun tersebut terlipat. Rumah didominasi oleh semut tramp, yaitu: S. germinata, P. longicornis, dan
P. megacephala. Ketiga jenis semut tanah tersebut biasa berasosiasi
dengan manusia dan bersifat invasif.
Semak-semak dengan jarak <100 m ditemukan
semut semut invasif, yaitu: S. germinata, P. megacephala, dan P.
longicornis. Semak-semak dengan
jarak <100 m ditemukan semut semut invasif, yaitu: S. germinata, P.
megacephala, dan P. longicornis.
|
Semut tanah
Pola keberadaan
Sungai Musi dan
Palembang
|
03
|
Judul: Keanekaragaman dan
Kelimpahan Semut sebagai Predator Hama Tanaman Padi di Lahan Sawah Organik dan Anorganik Kecamatan
Karanganom Kabupaten Klaten.
Penulis: Tarwodjo et al.
Jurnal: Bioma, Desember 2017.
Vol. 19, No. 2, Hal. 125-135
p ISSN: 1410-8801
e ISSN: 2598-237
|
·
Keanekaragaman Jenis Semut di Lahan Sawah Organik dan
Anorganik
·
Kelimpahan Jenis Semut di Lahan Sawah Organik dan
Anorganik
·
Kemerataan Jenis Semut di Lahan Sawah Organik dan
Anorganik
·
Peran Semut di Lahan Sawah Organik dan Anorganik
·
Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kehadiran Semut di
Lahan Sawah Organik dan Anorganik
|
Keanekaragaman dan kelimpahan semut berhubungan dengan perubahan pola tanam yang ada di suatu lahan. Hal ini juga berhubungan
dengan kompleksitas struktural vegetasi, nutrisi, atau produktivitas tanaman.
Keberadaan hama, gulma, maupun penyakit
tanaman pada lingkungan sawah akan mempengaruhi jumlah produksi padi. Tidak jarang hama, gulma, dan penyakit tanaman menyebabkan produksi padi menurun, sehingga masyarakat mulai
melakukan langkah-langkah pengendalian hama tanaman padi.
Keanekaragaman dan kelimpahan semut
mempengaruhi keberadaan hama tanaman padi di lahan sawah organik dan anorganik. Serangan hama tanaman padi mempengaruhi perolehan hasil panen
padi. Pengendalian hama dapat dilakukan dengan menggunakan semut yang memiliki peranan sangat
penting sebagai predator hama tanaman. Tujuan penelitian adalah mengetahui keanekaragaman. kelimpahan dan peranan semut, serta pengaruh faktor fisik kimia lingkungan terhadap kehidupan semut di lahan sawah organik dan anorganik
|
Pengambilan sampel dilakukan di 2 lokasi sawah pada pagi hari, yaitu lokasi sawah organic dan anorganik di Desa Gempol. Pengambilan sampel dimulai dengan pengambilan hama tanaman padi menggunakan jaring ayun. Hama tanaman padi lalu dimatikan untuk dijadikan
umpan semut. Kemudian, menyiapkan larutan gula yang diteteskan pada kapas dan menyiapkan potongan daging ikan dengan ukuran 5 cm. Hama tanaman padi dan daging ikan dipakai sebagai umpan guna mengetahui ketertarikan semut predator terhadap hama dan larutan gula dipakai ator.
Metode yang digunakan yaitu pit fall trap. Pengambilan sampel
dilakukan dengan membuat 3 petak plot
diagonal pada lokasi sawah
organik dan anorganik dengan ukuran 10 x 10 m.
Setiap petak plot berjarak 10 meter dan tiap petak plot terdapat 5 titik plot sebagai ulangan. Umpan
hama dan larutan gula diletakkan pada
gelas plastik yang ditanam pada tanah dengan mulut gelas plastik sejajar permukaan tanah.
Kemudian, gelas plastik berisi umpan hama, umpan daging
ikan, dan umpan larutan gula dibiarkan selama 24
jam hingga semut memakan umpan. Setelah 24
jam, gelas plastik berisi umpan yang telah terdapat
semut diambil dan
dimasukkan ke dalam botol sampel yang berisi alkohol 70% lalu ditutup dengan penutupnya untuk kemudian dilakukan identifikasi di
laboratorium.
|
Jumlah individu semut secara keseluruhan di lahan sawah organik yang tertangkap yaitu
sebanyak 429 individu yang termasuk dalam 11 jenis, sedangkan di lahan sawah anorganik yaitu 193 individu yang termasuk dalam 10 jenis. Jumlah jenis semut yang dijumpai di lahan sawah organik sedikit lebih banyak jika dibandingkan dengan lahan sawah anorganik. Jenis semut yang paling banyak tertangkap pada lahan organik yaitu Camponotus sp sebanyak 123 individu dan pada lahan anorganik yaitu Tapinoma sp sebanyak 55 individu.
Jenis semut yang dominan di lahan sawah organik dan anorganik yaitu Camponotus sp dan Solenopsis
geminate. Kelimpahan semut Tapinoma
sp, Camponotus sp dan Solenopsis geminata di lahan sawah terkait dengan ketersediaan pakan serta kemampuannya dalam bertahan di lingkungan yang terganggu oleh aktivitas manusia. Indeks kemerataan semut di
lahan sawah organik berkisar 0,63-0,99 termasuk
kategori merata, sedangkan di sawah anorganik
berkisar 0-0,99 termasuk kategori tidak merata
hingga merata. Perbedaan ini disebabkan oleh
adanya kondisi fisik kimia lingkungan yang
berbeda antara kedua lahan.
Semut yang ditemukan di lahan sawah organik dan anorganik selain berperan sebagai predator beberapa juga memiliki peran sebagai pengurai sisa-sisa bahan organik. Sebagai contoh semut yang berperan sebagai pengurai sisa bahan organik yaitu Solenopsis geminata.
Semut yang berperan sebagai herbivor diantaranya adalah Anoplolepis gracilipes, Paratrechina longicornis, Camponotus sp, dan Iridomyrmex sp. Semut juga memakan biji-bijian dari tumbuhan dan buah. Semut pekerja Paratrechina sp bersifat omnivora, memakan
serangga hidup dan mati, biji-bijian, buah-buahan, eksudat tanaman, dan makanan rumah tangga. Semut juga bersimbiosis
mutualisme yaitu seperti pada Tapinoma
sp yang membutuhkan embun
madu dari kutu daun sebagai sumber
energinya dan kutu daun mendapatkan
perlindungan dari serangan serangga predator
lainnya dari semut.
Beberapa faktor lingkungan yang diduga sangat berpengaruh terhadap kelimpahan dan keanekaragaman semut pada areal pertanian adalah intensitas cahaya matahari, suhu, kelembaban, angin, air, musim, pola tanam kompetisi interspesifik, variasi ketersediaan sumber makanan, kualitas habitat dan aktivitas manusia.
|
Keanekaraga-man dan Kelimpahan semut
sawah organik dan anorganik
|
04
|
Judul: Respon Semut Terhadap Kerusakan Antropogenik
Pada Hutan Lindung
Sirimau, Ambon.
Penulis: Latumahina F.
Jurnal: Agrologia, Vol. 5, No.2, Oktober 2016, Hal. 53-66
|
·
Bagaimana respon semut terhadap kerusakan hutan lindung.
·
Dampak dari Kerusakan habitat akibat kehadiran manusia terhadap semut
|
Gejala transformasi habitat yang terjadi
dalam hutan lindung Sirimau mengarah pada
kerusakan parmanen dan bersifat kontinyu, sehingga dibutuhkan upaya untuk menyelamatkan potensi keragaman hayati. Semut dipilih sebagai obyek dalam penelitian ini karena mempunyai arti ekologi yang penting dalam ekosistem hutan. Semut mampu menyediakan layanan ekosistem sebagai penyebar benih, pengendali hama secara biologis, predator, bioindikator
lingkungan, seed harvester dan
pollinator.
|
Penelitian dilaksanakan pada enam jalur pengamatan berukuran 500 x 20 m. Penelitian dilaksanakan dalam hutan sekunder seluas 578,58 ha yang merupakan bagian dari Hutan Lindung Sirimau Ambon. Pengamatan dan analisis dilaksanakan di Laboratorium Entomologi Dasar Fakultas Pertanian UGM. Pengambilan semut menggunakan tiga metode, yakni pitfall trap (PT) atau
perangkap jebak, bait trap (BT) dengan umpan gula dan ikan tuna serta hand
collecting. Sampel dikoleksi dengan pengawetan alkohol 70 % dan diidentifikasi dengan mikroskop stereo binokuler hingga tingkat spesis.
|
Degradasi dan transformasi hutan disebabkan oleh faktor manusia (antropogenik) dan faktor alam (non antropogenik) di antaranya penebangan liar, pembakaran hutan,
pembangunan pemukiman, sarana
pemerintah, erosi, banjir dan serangan hama
penyakit Hasil pengukuran keragaman semut dengan Indeks keragaman Shanon menunjukkan nilai indeks diversitas semut dalam hutan sekunder sebesar 2,92 dan
tergolong kriteria
sedang. Nilai
ini menunjukkan bahwa
penyebaran jumlah
individu tiap spesis
semut dan kestabilan komunitas semut
sedang, ekosistem masih mantap dengan
produktivitas yang cukup baik dalam kawasan hutan.
Keragaman semut dalam hutan sekunder
diduga dipengaruh oleh kompetisi
interspesifik, ketersediaan sumber makanan,
kualitas habitat dan perubahan aktivitas
semut. Penggunaan
lahan oleh warga di
sekitar hutan lindung untuk dijadikan areal
pertanian,
penggembalaan ternak
dan pemukiman sangat mempengaruhi
keragaman semut. Perubahan arsitektur
tanaman, perubahan kondisi habitat,
penggunaan insektisida secara intensif, dan
perubahan iklim. Ketinggian tempat dapat
mempengaruhi keragaman
semut dalam satu
habitat meskipun ketinggian hutan
sekunder terletak antara
250 - 500 m dpl namun
tidak
mempengaruhi
kekayaan, kelimpahan dan keragaman semut dalam
kawasan. Hal ini dikarenakan pada
batas ketinggian ini semut jdapat hidup dengan baik dan diduga cocok untuk semut melakukan berbagai aktivitas yang menunjang kehidupannya. Komposisi jenis dan frekuensi kehadiran semut menunjukkan hasil yang berbeda yakni ditemukan lima
subfamily masing-masing ponerinae, myrmlicinae, formicinae,
dolichoderinae dan cerapachyinae dengan 16 genus dan
23 spesies. Kelimpahan jenis tertinggi pada Polyrhachis
bellicosa
sebesar 0,158 dan terendah pada Cardiocondyla nuda sebesar 0,011. Pengelompokan semut secara fungsional didasari pada respon semut
terhadap kerusakan dan gangguan yang terjadi dalam habitat tempat hidupnya.
Faktor iklim dan tanah digunakan sebagai paramater untuk melihat hubungannya dengan kehidupan semut, karena aktivitas semut ditentukan oleh faktor iklim dan tanah sebagai habitatnya.
Semut dalam hutan
sekunder menunjukkan respon yang berbeda dalam menanggapi tekanan dan gangguan yang terjadi dalam
habitatnya. Spesis yang memberikan respon
sama dikelompokkan dalam satu tipe
fungsional yang sama dan spesis yang berbeda
respon akan dikelompokan dalam
tipe fungsional yang berbeda. Dalam hutan
sekunder terdapat tujuh tipe kelompok
fungsional yakni oppurtunist (1 spesis), generalized myrmicinae (1 spesis), specialis predator (4 spesis), tropical climate specialis (6
spesis), dominant
dolichoderinae (4 species), subordinate camponitini (6 spesis) dan Criptic species (4 spesis).
|
Antropogenik
Kerusakan habitat
Komunitas semut
Respon semut
|
05
|
Judul: Diversity of ants
(Hymenoptera, Formicidae) along a heavy metal pollution
gradient: Evidence of a hump-shaped effect.
Penulis: Elena Belskaya,
Alexey Gilev, Marina Trubina, Eugen Belskii.
2019
Jurnal: Ecological
Indicators 620144, Russia
|
·
dampak emisi industri terhadap semut
|
Semut mewakili kelompok yang beragam dan ada
di mana-mana dengan biomassa tinggi dan penting dalam
ekosistem terestrial, yang peka terhadap perubahan ekologis.
Mereka dikenal sebagai indikator antropogenik yang baik gangguan yang disebabkan oleh kebakaran, tebang
habis, penggembalaan, industry polusi, dan
rehabilitasi lokasi tambang. Terlihat bahwa semut memiliki toleransi
tinggi terhadap logam berat.
Polusi dengan logam berat dan sulfur dioksida dapat mengurangi
kelimpahan dan keanekaragaman semut.
Inkonsistensi hasil menentukan kebutuhan tambahan studi tentang
tanggapan komunitas semut terhadap polusi. Belum jeas pola-pola yang
berhubungan dengan polusi pada keragamansemut dan yang terjadi secara
kebetulan; faktor yang menentukan respons semut terhadap polusi; paparan racun atau
perubahan habitat. Karabash adalah kota industri di wilayah Chelybinsk,
Rusia. Karabash Copper Smelter (KCS), yang beroperasi sejak tahun 1910,
memproduksi tembaga dalam jumlah yang cukup besar di Rusia. Polutan utama
adalah sulfur, karbon dan nitrogen, serta debu polimer yang mengandung Cu,
Pb, Cd, Zn, dan As. Total emisi mencapai 1000 ton per tahun pada tahun
1970-1n secara terus menerus menghilang hingaa awal tahun 1990-an, ketika
operasi peleburan dihentikan, dan naik lagi menjadi 13-16 ribu ton per tahun
selama periode 2009-2012. Polusi jangka panjang mengakibatkan tandus yang
luas dengan tanah yang terkikis dan tumbuhan yang sangat jarang disekitar
KCS.
|
Jumlah semut dievaluasi selama dua musim
menggunakan perangkap lubang (mangkuk plastik dengan diameter 9 cm, diisi
dengan asam asetat 3%). Jebakan perangkap banyak digunakan untuk jumlah semut
pekerja di luar sarang (Underwood dan Fisher, 2006; Tista dan Fiedler, 2011).
Teknik pengambilan sampel yang sama memungkinkan perbandingan tahun dan
lokasi yang berbeda di sepanjang gradien polusi yang diteliti. Di setiap
plot, lima jebakan ditempatkan di sepanjang garis pada jarak 3m dari satu
sama lain. Perangkap tersebut terletak jauh dari jalur semut, setidaknya 100
meter dari tepi hutan, untuk menghindari pengumpulan semut yang mencari makan
dari habitat di sekitarnya; dalam titik yang sama untuk semua sampel. Pada
setiap acara pengambilan sampel, perangkap diekspos selama lima hari.
Pengambilan sampel dilakukan dua kali musim, pada awal dan pada akhir musim
panas, yaitu, dekade pertama Juni dan dekade ketiga Agustus pada tahun 2009
dan 2014. Dengan menggunakan replikasi temporal sepanjang musim, kami mencoba mengurangi
pendeteksian spesies langka. Dalam analisis lebih lanjut, dua sesi
pengambilan sampel dikumpulkan pada setiap plot untuk menghasilkan nilai
spesifik tahun. Spesies semut diidentifikasi oleh A.V. Gilev
menurut Dlussky (1967), Radchenko (1994, 1995, 1996).
Untuk mengungkap efek KCS pada karakteristik habitat, termasuk tinggi
dan kepadatan pohon, kekayaan spesies dan tutupan vegetasi, kami menggunakan
regresi linier sederhana dengan jarak log10 ke smelter sebagai prediktor dan
lokasi sebagai efek acak. Analisa dilakukan dengan dua set data: set lengkap
termasuk tandus industri (30 plot) dan mengurangi set tanpa tandus (27 plot).
Ini dilakukan untuk mengeksplorasi apakah efek polusi signifikan tanpa
industri mandul. Kontrol tingkat penemuan palsu (FDR) untuk pengujian
hipotesis berganda dilakukan dengan Benjamini-Yekutieli prosedur. Perhitungan
dilakukan dengan perangkat lunak JMP 10.0.0 (SAS Institute Inc., Amerika
Serikat, 2012) dan Microsoft Excel 2010.
|
Emisi industri berdampak negatif terhadap
vegetasi hutan. Analisis set data
lengkap (termasuk tandus industri) menunjukkan bahwa tinggi pohon, luas
tegakan tegakan, kekayaan spesies lapisan bawah, lapang dan lumut, dan
penutup lapisan lapang menurun menuju smelter. Analisis dari kumpulan data
yang berkurang (lokasi yang tidak
gersang) menghasilkan hasil yang hampir sama (kecuali kekayaan spesies
tumbuhan bawah), yang menunjukkan bahwa kerusakan ekosistem hutan sudah
dimulai pada tingkat polusi sedang. Kerusakan hutan di sekitar Karabash
memuncak sebagai tandus industri yang luas dengan tanah yang terkikis dan
spesimen kayu tunggal (Betula spp., Salix spp.) Dan spesies herba (Calamagrostis
epigeios, Equisetum arvense,
Lactuca tatarica) tumbuh
terutama di jurang. Analisis Komponen
Utama dari kumpulan data lengkap (lokasi yand tidak gundul) menghasilkan tiga komponen utama (PC) dengan nilai
eigen 8.1, 1.7, dan 0.99, masing-masing, yang
menjelaskan bersama 83.2% dari total varians. Konsentrasi logam berat, tinggi
kanopi atas, luas dasar tegakan, kekayaan spesies lapangan dan lapisan lumut,
dan tutupan lapisan lapangan menunjukkan korelasi tertinggi dengan PC
pertama. Jadi, PC1 mencerminkan paparan kontaminan dan status tegakan pohon
dan lapisan lapangan. Tutupan lumut berkontribusi terhadap PC2, yang
kemungkinan mencerminkan variasi kelembaban. Puing-puing kayu menunjukkan
korelasi tertinggi dengan PC3. Analisis set data yang dikurangi (tanpa
mandul) menghasilkan empat PC dengan nilai eigen 7.4, 1.7, 1.2, dan 1.05,
masing-masing, yang menjelaskan bersama-sama 87.2% dari total varians.
Variabel yang sama berkontribusi pada PC1 dan PC3. Kepadatan pohon
menunjukkan korelasi tertinggi dengan PC2, menunjukkan variasi insolasi.
Tutupan lumut adalah faktor utama yang berkontribusi terhadap PC4.
Secara total 21
spesies semut milik 7 genera terdaftar di area studi. Spesies yang paling
luas banyak adalah Lasius lih. Niger
(terdaftar di semua 10 lokasi, 30 plot), Formica
fusca, Myrmica ruginodis, dan M.rubra ( masing-masing 9 plot; 27,26,
dam 23 plot), Formica rufa dan myrmica lobicornis (7 situs; 12 dan 14
plot), leptothorax acervorum (6
situs; 14 plot), Camponotus saxatilis,
Leptothorax muscorum, dan , Myrmica
scabrinodis ( masing-masing 5 situs; 11,10, dan 8 plot), dan Formica sanguinea (4 situs, 10 plot).
Kekayaan spesies (baik S dan S ′),
keanekaragaman Shannon, dan jumlah total semut meningkat menuju smelter dan
maksimal pada jarak 3,5-5 km, di tegakan hutan yang sangat terganggu yang
berbatasan dengan tandus industri. Peningkatan lebih lanjut dari beban toksik
dan kerusakan habitat menyebabkan penurunan tajam semua indeks. Hanya dua
spesies (Lasius lih. Niger dan Tetramorium caespitum) yang terdaftar
di industri tandus. Dengan demikian, keragaman dan kemunculan semut
menunjukkan variasi non-linear yang jelas di sepanjang gradien polusi. 3.4.
Asosiasi keanekaragaman semut dan kejadian dengan variabel habitat Analisis
regresi menunjukkan bahwa indeks komunitas semut hanya bergantung pada PC1,
yaitu pada paparan kontaminan dan keadaan tegakan pohon dan lapisan lapangan.
Analisis set data lengkap menunjukkan kontribusi signifikan dari istilah orde
kedua (kuadrat PC) terhadap variasi dalam keragaman semut. Analisis dari set
data yang berkurang menunjukkan pola linear yang signifikan dari indeks
semut, yang meningkat seiring dengan pencemaran dan penurunan habitat. Ini
menyiratkan bahwa pola indeks semut berbentuk punuk dikaitkan hanya dengan
tandus industri.
Perubahan vegetasi dekat Karabash sejalan
dengan yang diketahui tanggapan masyarakat
hutan terhadap polusi industri. Beban racun yang tinggi menyebabkan penurunan
ketinggian kanopi atas, luas tegakan dasar, tutupan, dan kekayaan spesies
dari lapisan lapangan, sedangkan tutupan tanah gundul meningkat. Vegetasi
alami dan tanah hancur sepenuhnya di tandus industri di sekitar KCS. Oleh
karena itu, semua tahap degradasi hutan hadir di sepanjang gradien polusi ini
hingga kehancuran total ekosistem.
Pembentukan barel industri adalah efek khas dari emisi perusahaan metalurgi
non-ferrous besar. Ini adalah hasil dari efek gabungan dari SO2 dan logam
berat, diperburuk oleh relief berbukit. Sebelumnya, survei semut intensif
menghasilkan 33 spesies di wilayah ini dan lebih dari 70
spesies di seluruh Ural Selatan. Komposisi spesies semut dalam penelitian
kami sesuai dengan data yang dipublikasikan. Lasius lih. niger, Formica fusca, Myrmica rubra, dan M. ruginodis
adalah yang paling umum. Spesies boreal yang tersebar luas ini adalah khas
hutan dan zona stepa hutan Eurasia. Semut kayu merah dari genus Formica,
mendominasi lebih banyak hutan taiga utara, tidak ada di banyak lokasi dekat
Karabash dan tidak begitu melimpah daripada di daerah yang lebih utara dekat
Revda. Ini sebagian terkait dengan distribusi zonal dan preferensi habitat
kelompok ini. Kami menghitung semut dekat Karabash di hutan gugur yang dihuni
oleh F. rufa dan F. polyctena, yang
tidak membentuk koloni besar berbeda dengan F. aquilonia, lebih memilih hutan
konifer dan membentuk pemukiman besar yang terdiri dari puluhan dan ratusan
sarang dengan kelimpahan tinggi. pekerja. Data kami menunjukkan variabilitas
interannual kecil keanekaragaman semut dan kejadian di situs yang sama. Ini
karena kediaman semut dan umur panjang koloni mereka. Stabilitas relatif
dalam waktu adalah prasyarat yang baik untuk menggunakan semut dalam
pemantauan ekologis.
|
Kepadatan pohon
Kekayaan spesies
|
06
|
Judul:
Boreal Sand Hills are Areas of High Diversity for
Boreal Ants (Hymenoptera: Formicidae)
Penulis:
James R.N. Glasier, Scott E. Nielsen , John Acorn
and Jaime Pinzon
Diversity 2019,
11, 22; doi:10.3390/d11020022
|
·
menguji prediksi bahwa keanekaragaman semut
lebih tinggi di atas pasir bukit dibandingkan dengan jenis tamanAspen dan
hutan gambut yang lebih umum;
·
uji prediksi Keanekaragaman semut berbanding terbalik dengan
tutupan kanopi di ekosistem bukit pasir; dan
·
membandingkan semut fauna di bukit pasir
tengah Alberta dengan fauna serupa lainnya di Holarctic utara
|
Semut (Hymenoptera: Formicidae) adalah komponen penting dari
suatu ekosistem yang beriklim di kurub
utaradi Nearctic. Mereka bertindak sebagai predator dan mangsa, dan
mempengaruhi pergantian tanah, siklus hara, kerusakan kayu, dan penyebaran
biji herba. taman sekitar dan vegetasi boreal telah
dikonversi menjadi lahan pertanian dan padang rumput. Bukit pasir adalah area
penting untuk keanekaragaman invertebrata karena pasir adalah substrat yang
memungkinkan untuk menggali dalam waktu singkat, menawarkan manfaat termal,
dan seringkali heterogen secara topografi dengan puncak bukit pasir tinggi
dan lembah antar bukit kecil. Didominasi oleh pinus jack, daerah-daerah ini
juga memiliki frekuensi kebakaran yang lebih tinggi, yang selanjutnya
meningkatkan keragaman struktural vegetasi. Ini penting, karena heterogenitas
struktur habitat berkorelasi positif dengan keanekaragaman spesies semut.
Seperti invertebrata lainnya, keanekaragaman semut juga ditemukan lebih
tinggi di tanah berbukit dibandingkan dengan tanah dengan kandungan tanah
liat lebih tinggi dan di kawasan hutan memiliki lebih banyak kanopi terbuka.
Sebaliknya, mayoritas (tidak termasuk bukit pasir Danau Athabasca. Bukit
pasir yang memiliki topografi dengan ketinggian bukut-bukit yang berbeda
serta bukit pasir dan didominasi oleh pinus, daerah ini meningkatkan
keragaman struktural vegetasi. Ini penting, karena heterogenitas struktur
habitat berkorelasi positif dengan keanekaragaman spesies semut. Seperti yang
lain invertebrata, keanekaragaman semut juga ditemukan lebih tinggi di tanah
berbukit dibandingkan dengan tanah dengan kandungan tanah liat yang lebih
tinggi dan di kawasan hutan memiliki kanopi yang lebih terbuka.
|
Sebanyak 72 plot dijadikan sampel. Setiap
daerah bukit pasir memiliki 10 plot sampel, kecuali untuk Woodbend Hutan yang memiliki tujuh, dengan total 47 plot
bukit pasir. Di situs Taman Tahen aspen, 10 plot diambil sampelnya, sementara 14 plot diambil
sampelnya di lahan gambut berhutan dekat Fort McMurray. Plot di situs bukit
pasir seluas 0,1 ha persegi panjang (20 m kali 50 m), dengan 10 jebakan
perangkap (sub-sampel) per plot, ditempatkan
berpasangan 10 m tegak lurus ke dan jauh dari garis tengah (50 m tape) di interval 5, 15, 25, 35 dan 45 m. Plot di lahan
gambut adalah 0,25 ha (50 m kali 50 m), dengan 15 lubang perangkap (sub-sampel) per plot, ditempatkan dalam 3
transek paralel masing-masing 5 perangkap. Untuk menyederhanakan perbandingan keanekaragaman
semut di antara situs-situs hanya di dalam bukit pasir, kami mengidentifikasi
empat jenis fisiognomi vegetasi: padang rumput,
sabana, hutan, dan hutan. Di bukit pasir, kami punya 11 plot rumput, 13 plot savana, 10 plot hutan, dan
13 plot hutan.. dan hutan gambut Situs
itu kemudian diklasifikasikan sehubungan dengan
fisiognomi vegetasi menggunakan Vegetasi Nasional Amerika Serikat Sistem Klasifikasi.
|
Sebanyak 37.439 semut diidentifikasi. Secara
keseluruhan, 35 spesies dalam sepuluh genus disampel di bukit pasir, 20 spesies dalam enam genus diambil
sampelnya di taman aspen, dan 20 spesies dari lima genus diambil sampelnya di lahan gambut. Satu
spesies, Myrmica unfleta, ditemukan secara eksklusif di dalam taman aspen, tiga secara
eksklusif di dalam hutan lahan gambut (Myrmica
lobifron, Myrmica quebecensis dan Myrmica
lampra), dan 17 secara eksklusif di bukit pasir.
Kekayaan spesies sampel di bukit pasir sama dengan kekayaan spesies yang
diprediksi (berdasarkan MMMeans) dengan efisiensi sampling 100,0%. Untuk
fisiologi vegetasi di dalam bukit pasir, efisiensi pengambilan sampel adalah 88,3%
untuk padang rumput, 90,9% untuk sabana, 86,3% untuk hutan dan 86,3% untuk
hutan. Untuk daerah bukan bukit pasir, efisiensi pengambilan sampel adalah
83,8% untuk taman aspen dan 100% untuk hutan lahan gambut.
Mayoritas situs bukit pasir Redwater ditutupi oleh hutan pinus jack
heterogen, dengan hutan pinus aspen-jack yang bercampur. Situs bukit pasir Stony Plain (Woodbend Forest) berhutan dengan campuran aspen, pinus jack, dan
cemara hitam. Semua situs bukit pasir berada di bukit pasir yang ditumbuhi,
dengan sedikit tanah lapisan atas dan hanya tanah bagian atas yang tipis di
atas pasir yang mendasarinya. Di Danau Cooking
Lake Blackfoot Grazing, Satwa
Liar dan Area Rekreasi Provinsi, pengambilan sampel dilakukan di area
penggunaan hari Waskahegan. Vegetasi di Waskahegan terdiri dari campuran
padang rumput terbuka dan hutan aspen dengan beberapa pohon cemara hitam.
Waskahegan ditandai oleh morain glasial dan tanah tinggi, topografi yang
mirip dengan bukit pasir, tetapi dengan tanah mesic tanah liat yang tinggi.
Daerah Fort McMurray adalah lahan gambut berhutan, didominasi oleh pohon
cemara hitam, pohon konifer (bertandan jarum) dengan beberapa tumbuhan aspen
dan mewakili tanah berbasis gambut organik basah yang khas dari sebagian
besar hutan boreal Alberta.
Spesies semut yang paling banyak di bukit pasir adalah umum untuk
semua fisiognomi vegetasi jenis, sementara beberapa spesies unik, atau paling
melimpah, jenis fisiognomi tunggal. Kekayaan spesies oleh fisiognomi vegetasi
bukit pasir sulit untuk diukur, karena beberapa plot sampel beberapa jenis
fisiognomi. Variabel situs lainnya, seperti tutupan tanah, kepadatan semak,
dan kelembaban tanah, bisa meningkatkan pemahaman kita tentang pengaruh lokal
habitat pada spesies semut, tetapi tidak dilaporkan di sini. Namun, indeks
Shannon dan Simpson menunjukkan semut yang lebih tinggi keanekaragaman di
padang rumput, dengan kecenderungan umum menuju keanekaragaman berkurang
dengan peningkatan tutupan kanopi, seperti dilaporkan dalam penelitian lain. . Selanjutnya, bukit pasir di
daerah Alberta tengah memiliki kekayaan spesies
tertinggi dari setiap lokasi Kanada. Bukit pasir terbuka di dalam
Great Sand Hills di saskatchewan selatan yang memilki tutupan yang tinggi juga memiliki kekayaan spesies yang lebih rendah.
|
Hymenoptera
Keanekaraga-man
Boreal
Pasir
Semut
|
07
|
Judul: The Diversity of Ants
(Hymenoptera:
Formicidae) in District
Charsadda, Khyber Pakhtunkhwa: New Reports
from Pakistan
Penulis: Syed Basit Rasheed, Ahmad Yar, Farrah Zaidi
and Qaisar Jamal
Jurnal:Pakistan J. Zool., vol.
52(4), pp 1363-1370, 2020
DOI:https://dx.doi.org/10.17582/journal.pjz/20180916170913
|
·
Spesies yang ditemukan di pakistan
|
Di antara semua varietas serangga, semut
adalah kelompok yang paling beragam dan dikenal di dunia. Ini karena sebagai
kelompok mereka benar-benar dan biasanya cukup jelas. Mereka bersifat eusocial dan dapat ditemukan di semua
jenis habitat tanah dari tundra subarctic ke hutan hujan khatulistiwa, dari
rawa-rawa ke padang pasir, dari garis pantai laut ke ketinggian besar dan
dari bawah tanah ke puncak pohon tertinggi, tetapi mereka benar-benar tidak
ada di beberapa daerah termasuk Islandia, Greenland dan Antartika, dengan
beberapa pulau tidak memiliki spesies semut asli. Jumlah spesies berkurang
dengan meningkatnya garis lintang, ketinggian, dan kekeringan. Terlepas dari
kenyataan bahwa wilayah tropis dan hutan benua termasuk yang termiskin diketahui, daerah ini memiliki spesies yang
terdokumentasi maksimum keanekaragaman,
dengan sekitar 2.200 spesies dilaporkan dari Asia dengan 1753 spesies dilaporkan hanya dari Indonesia. Studi lain
dilakukan di Zoological Society of Pakistan daerah tropis juga melaporkan keragaman yang sangat
besar daerah-daerah ini seperti 852 spesies yang
didokumentasikan dari Costa Rika dan 701 dari
Ekuador. India, itu negara tetangga
Pakistan juga memiliki yang melimpah keanekaragaman semut
dengan 828 spesies dan subspesies yang dimiliki hingga 100 genera yang ditempatkan di 10 subfamili
daerah tropis juga telah melaporkan keragaman yang sangat besar. Semut ditempatkan secara taksonomis dalam keluarga Formicidae,
dalam superfamili Vespoidea dari ordo Hymenoptera.
Mereka dipisahkan dari anggota pesanan lainnya melalui simpul yang
mungkin satu atau dua tersegmentasi dan terhubung mesosoma dengan gaster,
antena geniculate, dan secara konsisten menyajikan kelenjar metapleural pada
semut. Keluarga Formicidae termasuk 16 subfamili, 296 genera dan saat ini ada
sekitar 15000 spesies semut di seluruh dunia, dari jumlah ini spesies yang
dideskripsikan lebih dari 12000, sementara banyak menunggu deskripsi tapi
masih ada yang besar jumlah spesies yang belum ditemukan. Dari catatan fosil
semut, 14 genera punah 4 subfamili yang punah dan 61 genera yang punah dari
yang masih ada subfamili telah diakui.
|
Survei dilakukan di ketiga teh: Charsadda, Tangi dan Shabqadar dari distrik
Charsadda selama 2014-2015. Semut dikumpulkan secara
acak dari berbagai habitat yaitu, ladang tanaman,
kuburan, rumah (dapur, kamar, kamar kecil)
dan jalan - jalan di berbagai tempat di bidang studi. Koleksi
dilakukan pada siang hari dan waktu malam. Tiga
metode pengambilan sampel utama digunakan untuk mengambil sampel semut secara acak dari
berbagai wilayah Charsadda; Aspirator bukal,
pengumpulan tangan dan perangkap oportunistik perangkap. Semut yang ditangkap
pertama kali dibunuh dan sementara waktu diawetkan dalam
tabung Eppendorf diisi etanol 75-90%. Setelah mengumpulkan
dan memelihara tabung Eppendorf diberi label dengan
label kertas pra-potong yang memiliki nomor dan informasi
seperti tanggal pengumpulan, waktu pengumpulan,
lokalitas, ekologi dari situs pengumpulan dan nama kolektor dicatat dalam buku harian melawan nomor tertentu dari tabung koleksi. Untuk jangka
waktu yang lama istilah pelestarian
alkohol dalam tabung yang mengandung Eppendorf.
Semut yang diawetkan diperbarui untuk
mencegah pembusukan dan perubahan warna
sampel karena partikel debu atau lainnya puing dikumpulkan
selama pengambilan sampel. Sampel itu kemudian dibawa ke Lab Entomologi, Departemen Zoologi, Universitas Peshawar dan dipasang dengan benar berikut Bolton (1994). Pemasangan dilakukan dengan
menempelkan semut melalui lem
Seccotine ke ujung atas precut kartu kaku segitiga.
Kemudian pin dimasukkan melalui ujung kartu yang
lebih luas dan setelah pengeringan yang diawetkan Semut yang terpasang disimpan di dalam kotak
serangga. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan
standar kunci taksonomi. Spesimen kering yang
diawetkan adalah diidentifikasi ke
tingkat genus dengan menggunakan kunci "Identifikasi panduan untuk genera Semut Dunia ”oleh Bolton
(1994). Identifikasi hingga tingkat spesies sebagian
besar dilakukan oleh menggunakan Fauna
dari British India sementara untuk beberapa genera baru-baru ini publikasi taksonomi digunakan seperti untuk
Cataglyphis kunci yang dijelaskan
oleh Radchenko (1998) dan untuk Meranoplus kunci yang dijelaskan oleh Schodl (1998) digunakan
untuk spesies identifikasi tingkat.
Spesimen yang diidentifikasi juga dibandingkan dengan
gambar yang tersedia online di web semut (www.antweb.org) dan
semut wiki (www.antwiki.org) dan spesimen yang
diidentifikasi disimpan dalam Entomologi museum, Departemen
Zoologi, Universitas Peshawar, Peshawar.
|
Koleksi acak dilakukan dari tiga teh yaitu: Charsadda, Tangi dan Shabqadar dari
distrik Charsadda dengan menggunakan tiga teknik
pengumpulan yang berbeda. Sebanyak 19 spesies
mewakili 11 genera dan 3 sub subfamilies Formicinae, Myrmicinae dan
Dolichoderinae, diidentifikasi selama penelitian ini. Myrmicinae telah
menjadi subfamili paling beragam dengan total 11 spesies. Marga Pheidole
diwakili oleh jumlah spesies terbanyak (5 spesies) diikuti oleh Camponotus
dan Monomorium dengan masing-masing tiga spesies. Genera yang tersisa adalah
masing-masing diwakili oleh satu spesies. Hanya satu spesies Tapinoma melanocephalum dikumpulkan
dari situs indoor (dapur dan kamar) sementara, setipes Cataglyphis, Meranoplus
bicolor, Messor instabilis, Polyrhachis hauxwelli, Camponotus sericeus dan Pheidole sulcaticeps dikumpulkan dari
luar (ladang tanaman, halaman rumput, jalan-jalan, lahan tandus, pohon, dan
kuburan) situs. Namun, tersisa 12 spesies dikumpulkan baik dari situs indoor maupun
outdoor.
|
Kelimpahan
Formicidae
Myrmicinae
Pakistan
|
09
|
Judul: Cuticular
hydrocarbons in ants (Hymenoptera:
Formicidae) and other insects:
how and why they differ among individuals, colonies,
and species.
penulis: Philipp P. Sprenger
& Florian Menzel. 2020.
jurnal: Myrmecol. News 30: 1-26 doi:
10.25849/myrmecol.news_030:001
ISSN 1997-3500
|
·
Fungsi CHC pada semut
|
Permukaan tubuh setiap serangga hampir ditutupi dengan lapisan
kutikula hidrokarbon (CHC). Mereka memenuhi beberapa
fungsi vital untuk serangga, dua
yang paling dipelajari adalah perlindungan terhadap kehilangan air (waterproofing) dan
komunikasi. Penemuan ini berpusat
pada peran CHC dalam mencegah kehilangan air Hanya pada 1960-an,
dengan munculnya kromatografi gas spektrometri massa
(GC-MS), ahli biologi mulai memahami keragaman besar CHC
pada serangga. Bahkan seekor serangga pun dapat memiliki hingga 100 Ca hidrokarbon yang
berbeda. Perbedaannya terletak pada panjang rantai (kebanyakan antara C20 dan C45), angka dan posisi cabang metil, dan jumlah dan posisi ikatan rangkap. Hampir semua spesies semut
mengandung n-alkana, dan sebagian besar spesies juga
memiliki monometil alkana (yang dapat
membentuk 50% dari profil CHC; F. Menzel, unpubl.).
Kelas zat umum lebih lanjut termasuk dimetil
alkana, alkena, dan (kurang umum) alkadiena, tri- dan
tetramethyl alkana. Bahkan lebih jarang alkatrien dan metil
alkena (dengan ikatan rangkap dan kelompok metil).
Beberapa studi juga mendeteksi rantai yang sangat panjang senyawa (hingga C60) pada semut dan serangga
lainnya, beberapa di antaranya adalah hidrokarbon.
Sejauh ini, mereka telah dipelajari
dalam spesies yang relatif sedikit, sehingga lebih banyak diperlukan penelitian untuk memahami variabilitas
dan fungsi biologis mereka.
|
Berdasarkan pada dua kumpulan data yang
dipublikasi secara acak pada data pencarian yang telah diketahui dari spesies
semut Temnothorax longfispfinosus, T. ambfiguus, Myrmfica
rubra dan M. rugfinodfis, kami
secara kuantitatif sumber berbeda dari CHC varfiatfion. Kami
menggunakan algorfithm hutan acak
untuk menentukan perbedaan antar kelompok. Sebagai tolak ukur dari
perbedaan, kami menggunakan tingkat kesalahan sirip lintas valensi dari
hasil.
Tingkat kesalahan 0 berarti bahwa profil CHC
memungkinkan classfiffyfing semua findfivfiduals dengan jelas.
Sebagai contoh, specfies classfificatfions
dapat diterima tanpa kesalahan. Sebaliknya, perubahan yang sesuai dan
fforager/ Perawat perbedaan, ketika sangat penting, tidak memungkinkan untuk
secara jelas menempatkan pekerja ke respek lima kategori.
Metode hutan acak secara tambahan
memungkinkan untuk mendatangkan manfaat dari hidrokarbon tunggal untuk
klasifikasi kelas. dan dengan demikian
menunjukkan zat mana yang paling kuat. Untuk setiap klasifikasi kelas, kami
melaporkan lima CHC (atau
CHC memadukan) paling penting untuk
klasifikasi kelas.
|
Setelah membandingkan profil hidrokarbon
kutikula di antara spesies, satu hal yang diketahui bahwa sejauh ini tidak
semua kombinasi hidrokarbon kutub mungkin direalisasikan - dengan demikian,
ada kendala pada variasi CHC. Pertama, sebagian besar spesies hanya
menghasilkan kisaran panjang rantai terbatas. Di antara profil CHC dari 85
spesies Camponotus dan Crematogaster (Menzel & al. 2017a), tiga panjang
rantai yang berbeda (mis., C27, C28, C29) sudah
menyumbang lebih dari 50% dari semua CHC di 49 spesies. Dalam 10 spesies,
lebih dari 50% dari semua CHC bahkan termasuk dalam satu rantai panjang.
Selain itu, sebagian besar CHC memiliki panjang rantai bernomor ganjil - 86,3
± 1,6% SE dalam dataset yang sama (F. Menzel, unpubl.). Akhirnya, serangga
(bukan hanya semut) sering menghasilkan serangkaian hidrokarbon homolog lebih
dari beberapa panjang rantai, sehingga jumlah seri homolog jauh lebih rendah
dari jumlah aktual berbagai CHC pada serangga (Martin & Drijfhout 2009a;
F. Menzel, unpubl.). Pengamatan ini mungkin tidak mengejutkan, tetapi mereka
menunjukkan bahwa komposisi CHC pada serangga terbatas. Kendala ini mungkin
timbul dari biosintesis mereka. Dominasi CHC rantai ganjil berasal dari
asalnya dari asam lemak, yang langkah demi
langkah memanjang oleh unit C2, sampai gugus karboksil terminal direduksi
menjadi gugus karbonil dan kemudian dihilangkan (Blomquist 2010a). Kehadiran
seri homolog, dan pada saat yang sama rentang terbatas panjang rantai,
mungkin berasal dari jalur biosintesis jika enzim yang terlibat dalam
produksi perpanjangan CHC distribusi normal
seri CHC homolog daripada jenis CHC tunggal, misalnya, jika enzim yang
menghentikan perpanjangan rantai melalui reduksi tidak spesifik-substrat
tetapi menerima substrat dengan panjang rantai yang berbeda. Jika ini
masalahnya, memproduksi serangkaian CHC homolog mungkin membutuhkan lebih
sedikit enzim yang berbeda dan karenanya lebih murah daripada memproduksi CHC
seri homolog yang berbeda. Namun, hingga kini ini adalah spekulasi karena
spesifisitas enzim yang terlibat dalam biosintesis CHC jarang diketahui.
|
aklimasi
adaptasi
nestmate recognation
queen pheromone
waterproofing
|
10
|
Judul: New combination and redescription of
Brachyponera
mesoponeroides Radchenko,
1993 (Hymenoptera:
Formicidae: Ponerinae). 2020
Penulis: Dang, An Van,
Yamane, Seiki, Nguyen, Anh D., and Eguchi,
Katsuyuki
Source: Revue suisse de Zoologie, 125(2) :
221-229
DOI: 10.5281/zenodo.1414203
ISSN 0035-418
|
·
Karakteristik genera Brachyponera dan
Hypoponera secara morfologi.
·
Perbedaan genera Brachyponera dan Hypoponera.
Melalui barcode DNA berbasis COI
|
Brachyponera diperkenalkan oleh Emery (1900)
sebagai a subgenus dari genus Euponera Forel, 1891,
dengan jenis spesies E. (B.) croceicornis. Brachyponera dihidupkan kembali lagi sebagai genus berdasarkan filogenetik molekuler analisis dan pemeriksaan morfologi. Dalam perjalanan proyek jangka panjang mengungkap
spesies keragaman semut di Indo-Cina, dua pekerja
paratype Brachyponera mesoponeroides diperiksa dan konfirmasikan posisi
generiknya, dan disimpulkan Radchenko tidak setuju
bahwa spesies dengan Brachyponera tetapi setuju dengan Hypoponera dalam beberapa hal
penting karakter diagnostik yang memisahkan kedua
genera. Karena itu, dalam makalah ini, B.
mesoponeroides ditransfer ke Hypoponera sebagai
kombinasi baru. Tipe Pekerja dari spesies ini dideskripsikan kembali dan sang ratu
dijelaskan untuk pertama kalinya berdasarkan pekerja
paratype dan sarang seri yang baru
dikumpulkan dari Taman Nasional Cuc Phuong, Provinsi Ninh Binh (tipe lokalitas), distrik Van
Lang, Provinsi Lang Son dan Cagar Alam Na Hang,
Tuyen Provinsi Quang, Vietnam. Barcode DNA berbasis
COI juga dilakukan untuk memeriksa batas spesies
dari Hypoponera
mesoponeroides.
|
DNA, amplifikasi PCR dari 658bp dari wilayah kode DNA standar (wilayah Folmer) dekat ujung 5 'dari mitokondria CO1 gen, sequencing menggunakan ABI PRISM 3100
(Diterapkan Biosystems), dan
urutan perakitan menggunakan ChromasPro 1.7.6 (Technelysium
Pty Ltd., Australia). Total dari 18 urutan diserahkan
ke Bank Data DNA Jepang (nomor aksesi:
LC349909-LC349926. 18 urutan bersama dengan yang berikut Lima sekuens dari tiga spesies Brachyponera lainnya (B. chinensis: GQ264568; B.
luteipes: GQ264582; B. nakasujii: GQ264594; Cryptopone sauteri: GQ264538; Ectomomyrmex javanus GQ264573) diselaraskan dengan menggunakan ClustalW yang dibangun di MEGA 7. Kemudian, berdasarkan pada dataset 438 bp, divergensi berpasangan dihitung menggunakan jarak-p (diperoleh dengan membagi jumlah nukleotida perbedaan dengan jumlah total nukleotida yang
dibandingkan) dan model jarak K2P. Seorang
tetangga bergabung pohon berdasarkan
model jarak K2P telah dibuat menggunakan MEGA 7
|
Schmidt & Shattuck (2014, p. 77)
membedakan pekerja dari genera Brachyponera dan
Hypoponera oleh status karakter berikut: bagian basal
luar mandibula biasanya dengan lubang basal (usang atau sisa dalam beberapa
spesies) di Brachyponera, tetapi tanpa lubang atau alur di Hypoponera; bagian
apicoventral dari metatibia dengan taji kecil dan sederhana di depan taji
besar dan pektinat di Brachyponera, tetapi dengan taji besar pectinate di
Hypoponera; prora berkurang dan tidak terlihat secara eksternal di
Brachyponera saat hadir di Hypoponera; proses subpetiolar berkembang dengan
baik, posteroventral dengan sudut akut atau sepasang sudut akut di
Brachyponera, tetapi sebagai lobus bulat, tidak memiliki proses seperti rak
posterior di Hypoponera. Dalam pemeriksaan kami, dua pekerja paratipe B.
mesoponeroides Radchenko, 1993 setuju dengan konsep
Hypoponera yang dikemukakan oleh Schmidt & Shattuck
(2014); B. mesoponeroides, oleh karena itu, dipindahkan ke genus Hypoponera.
Melalui barcode DNA berbasis COI, dua
kelompok berbeda dikenali dalam koloni yang secara morfologis ditentukan
sebagai “H. mesoponeroides”. Divergensi minimal di antara mereka adalah
3,7% dalam jarak-p dan 0,038 di K2P. Menurut penelitian sebelumnya pada berbagai
taksa arthropoda (Smith et al., 2005 untuk Formicidae; Robinson et al., 2009
untuk laba-laba; Renaud et al., 2012 untuk Diptera) mengemukakan bahwa
nilai-nilai perbedaan intraspesifikasi COI biasanya kurang dari 2- 3%. Jadi,
ada kemungkinan tertentu bahwa kedua kluster tersebut berbeda di tingkat
spesies. Akibatnya, gugus yang terdiri dari koloni-koloni dari Cuc Phuong
(tipe lokalitas), Van Lang dan Na Hang di sini ditentukan sebagai H.
mesoponeroides nyata (keragaman intraspesifikasi maksimum: 0-1,8% dalam
jarak-p dan 0-0,019 di K2P), dan sang ratu dideskripsikan untuk pertama
kalinya berdasarkan koloni dari Cuc Phuong. Status gugus lainnya, terdiri
dari koloni yang dikumpulkan dari Chu Yang Sin, akan diselesaikan setelah
pengambilan sampel intensif lebih lanjut di seluruh Vietnam dan menganalisis
sampel.
|
Brachyponera
Hypoponera
Karakteristik Brachyponera dan
Hypoponera
|
11
|
Judul: Myrmecological Fauna (Hymenoptera:
Formicidae)
Collected with
Multilure-Type Traps in a Neotropical
Transitional Region from
Northeastern Mexico
Penulis: Vanoye-Eligio,
Venancio, Berrones-Morales, Martín, and
Rosas-Mejía, Madai
Jurnal: Florida
Entomologist, 103(1) : 127-129
Published By: Florida Entomological Society
URL: https://doi.org/10.1653/024.103.0421
|
·
Jenis-jenis spesies yang ditemukan
berdasarkan 3 jenis jebakan
|
Semut mewakili keragaman tertinggi dari
serangga eusocial dan menyumbang antara 15 dan 20% dari total biomassa hewan
di daratan kontemporer ekosistem. Di Meksiko,
ekosistem darat, seperti hutan gugur tropis, adalah reservoir bagi
keanekaragaman spesies terbesar. Ekosistem tropis semacam itu menemukan batas
Neotropisnya di timur laut Meksiko, khususnya di negara bagian Tamaulipas,
yang terletak di zona transisi antara kawasan Neotropis dan Nearctic di Benua Amerika. Zona transisi ini terletak di atas
Sierra Madre Oriental di cagar biosfer "El Cielo," yang ditandai
oleh keberadaan daerah tropis dan ekosistem pegunungan di sepanjang gradien
ketinggian. Perangkap multilure digunakan untuk memantau populasi lalat buah
(Diptera: Tephritidae). Perangkap multilure digunakan untuk memantau populasi
lalat buah (Diptera: Tephritidae). Perangkap ini terdiri dari 2 wadah
silinder invaginasi yang dapat dilepas yang memungkinkan mereka untuk
diservis dan diberi umpan (FAO / IAEA 2003). Semut sering terdiri dari
sebagian besar koleksi lalat sebagai non-target (Herrera et al. 2015;
García-Martínez et al. 2018), yang dapat digunakan dalam survei
keanekaragaman untuk taksa ini. Keragaman myrmecofauna yang terkait dengan
perangkap ini tidak diketahui di timur laut Meksiko. Di pusat Veracruz,
Meksiko, García-Martínez et al. (2018) menunjukkan efektivitas perangkap ini
yang diberi umpan dengan Cera Trap® (Bioibérica, Barcelona, Spanyol),
penarik makanan untuk lalat buah, ketika mengambil sampel keanekaragaman
semut yang mencari makan di kanopi hutan. Studi ini menyimpulkan bahwa
penggabungan umpan Cera Trap dengan perangkap Multilure adalah metode yang
efektif untuk pengambilan sampel semut yang menghuni kanopi agroekosistem.
Kami melaporkan di sini pada penelitian kami mengenai myrmecofauna arboreal
yang terkait dengan jebakan Multilure yang diberi umpan dengan produk yang
mirip dengan Cera Trap di hutan gugur tropis di timur laut Meksiko.
|
Area penelitian terletak di cagar biosfer
"El Cielo" di kotamadya Gomez Farias, Tamaulipas, Meksiko, antara
23.0407 ° N, 99,0923 ° W, dan 23,0122 ° N, 99,0859 ° W, pada kisaran
ketinggian antara 250 dan 300 masl Vegetasi dominan adalah hutan cemara
sedang, ditandai oleh Bursera simaruba (L.) Sarg. (Burseraceae), Brosimum
alicastrum Sw. (Moraceae), Enterolobium cyclocarpum (Jacq.) Griseb.
(Fabaceae), Mirandaceltis monica (Hemsl.) Sharp. (Ulmaceae), Cedrela odorata
L. (Meliaceae), Leucaena pulverulenta (Schltdl.) Benth. (Fabaceae), Phoebe
tampicensis (Meisn.) Mez. (Lauraceae), Savia sessiliflora (Sw.) Willd.
(Phyllanthaceae), Achatocarpus nigricans Triana (Achatocarpaceae) antara lain
(Valiente-Banuetet al. 1995). Suhu rata-rata di wilayah tersebut adalah 23 °
C dengan curah hujan tahunan sekitar 1.600 mm. delapan jebakan lalat buah Multilure (Better World
Manufacturing, Inc., Fresno, California,
AS) diberi umpan Strepha Trap 250 hingga 300 mL (Productos Biológicos S. A., Barcelona, Spanyol)
dikerahkan dan diperiksa setiap 7
dari Nov 2016 hingga Jun 2017 (Gbr. 1). Strepha Trap adalah penarik makanan, mirip dengan Cera Trap,
digunakan untuk memantau Anastrepha dan lalat buah
Ceratitis (Diptera: Tephritidae) dan yang terdiri dari protein yang berasal
dari hewan yang dihidrolisis secara enzimatik (Lasa & Cruz 2014).
Perangkap ditempatkan di pohon setidaknya 2 m di atas tanah. Spesimen semut
dikeluarkan dari campuran dan diawetkan dalam alkohol 70%, dan dipindahkan ke
Laboratorium Zoologi dari Instituto de Ecología Aplicada dari Universidad
Autónoma de Tamaulipas di Ciudad Victoria, Tamaulipas, Meksiko. Spesimen
diidentifikasi menggunakan kunci taksonomi Hölldobler dan Wilson (1990),
Mackay (1995), Fernández (2002), Fisher and Cover (2007), dan Longino dan Cox
(2009). Sebanyak 34 semut dari 7 spesies diidentifikasi. Subfamili Formicinae
diwakili oleh 4 spesies, diikuti oleh Myrmicinae dengan 2, dan Dolichoderinae
dengan hanya 1 spesies. Berikut ini adalah daftar semut dari spesies yang dicatat.
|
Jebakan Multilure yang diberi umpan dengan
Strepha Trap bermanfaat metode untuk pengambilan sampel semut arboreal.
Sebanyak 7 spesies semut (Hymenoptera: Formicidae) direkam dari 8 jebakan
Multilure yang terkait dengan kanopi pohon di wilayah transisi Neotropis di
timur laut Meksiko. Genus Azteca dan spesies A. schimperi Emery dilaporkan untuk pertama kalinya di negara
bagian Tamaulipas, Meksiko. Temuan ini mewakili distribusi paling utara dari
spesies ini di Amerika. Kata Kunci: Azteca; semut; distribusi; contoh; StephaTrap; Tamaulipa.
Kelimpahan yang terbesar dari pitfall trap
yaitu hutan pinus, dengan sembilan spesies: M. capitatus, M. salomonis, T. biskrensis, C. foreli, C. barbaricus,
C. alii, C. bicolor, C. albicans dan C. rubra. Dalam Dhaya Tilghimt,
delapan spesies semut diidentifikasi, termasuk M. sanctus, M. medioruber, T. biskrensis, M. salomonis, P. pallidula,
C. batesii, C. thoracicus dan C. bicolor. Di sungai kering M'zi, hanya
lima spesies yang terdeteksi: T.
nigerrimum, M. arenarius, M. salomonis, C. bombycina dan C. bicolor.
Terkadang kelimpahan mencerminkan aktivitas
semut yang lebih baik di lokasi yang diteliti berdasarkan mode pengambilan
sampel semut. Dalam 3 tipe habitat perangkap lubang mengungkapkan bahwa M. capitatus terutama berlimpah di
hutan, sementara kelimpahan relatif tertinggi tercatat untuk T. nigerrimum (39,3% dari seluruh
individu dalam perangkap yang digunakan untuk pengambilan sampel) di stasiun sungai
kering, diikuti oleh C. bombycina
(36,6%). Dalam Dhaya Tilghimt, C.
bicolor dominan (41,5% dari seluruh individu dalam perangkap yang
digunakan untuk pengambilan sampel), diikuti oleh P. pallidula (20,4%). Untuk
frekuensi kemunculan (O%) spesies semut yang dicatat oleh pitfall, di hutan
pin, pada sembilan spesies semut yang dilaporkan, C. bicolor dianggap sebagai satu-satunya spesies yang konstan,
sisa semut disajikan dalam kategori dari spesies aksesori di sungai kering T. nigerrimum dengan C. bombycina adalah semut yang konstan
sedangkan C. bicolor diklasifikasikan
dalam kategori spesies aksesori; namun M.
arenarius dan M. salomonis lebih jarang muncul di sungai kering. Tingkat
terjadinya semut dalam daya adalah sebagai b erikut: C.
bicolor dan P. pallidula telah muncul secara konsisten, spesies Messor dan C. batesii diklasifikasikan sebagai spesies aksesori dan spesies
terakhir diwakili oleh C. thoracicus
dan M. salomonis muncul tanpa sengaja.
|
Serangga eusosial
Pitfaal trap
|
12
|
Judul:
Diversity,
Richness and Composition of Ant Communities (Hymenoptera: Formicidae) in the
Pre-Saharan Steppe of Algeria
Penulis:
Y Amara1,
H Tliba1, F Bounaceur2, S Daoudi1
Jurnal:
Sociobiology
67(1): 48-58 (March, 2020)
DOI:
10.13102/sociobiology.v67i1.2897
ISSN:
0361-6525:
|
·
Keanekaragaman jenis semut yang diperoleh di
daerah stepa Aljazair
·
Spesies yang umum pada ketiga vegetasi
tumbuhan
·
Kelimpahan tertinggi jenis semut
·
Variasi
semut terhadap musim
|
Stepa Aljazair dianggap sebagai zona
penyangga secara ekologis antara pesisir dan Aljazair Sahara. Area yang luas
ini menjadikan padang rumput Aljazair sebagai ekosistem yang ditandai oleh
keanekaragaman lanskap yang disampaikan kepada variabilitas faktor ekologis
yang besar. Terlepas dari keanekaragaman ini, ada kekurangan informasi
tentang fauna yang hidup di ekosistem ini, khususnya arthropoda, termasuk
semut. Dengan lebih dari 12.500 spesies, semut dianggap sebagai kelompok
serangga sosial yang paling beragam dan berlimpah. Mereka dapat ditemukan di
mana-mana, di hutan maupun di daerah terbuka, dekat air atau di tempat-tempat
kering. Semut adalah diterapkan secara
luas dalam beberapa program penilaian keanekaragaman hayati, sebagai
indikator perubahan ekologi dan pengendalian lingkungan, yang tidak diragukan
lagi berkaitan dengan kepentingan mereka dalam hal biomassa. Di Aljazair,
semut telah menjadi subjek penelitian sebelumnya, terutama di wilayah utara
dengan tahap bioklimatik yang lembab dan sub-lembab.
|
Penelitian ini dilakukan di padang rumput
Aljazair. Ini dicirikan oleh iklim Mediterania kering dan semi-kering, dengan
curah hujan tidak teratur yang rendah (100 hingga 450 mm / tahun), kisaran
suhu tinggi (lebih dari 40 ° C di musim panas dan di bawah 0 ° C di musim
dingin) dan ketinggian 700 hingga 1.500 m dpl (Bencherif, 2011). Penyelidikan
dilakukan di dua wilayah berbeda: (1) Aflou: (34 ° 06'N 02 ° 06'E) yang
terletak di pegunungan Sahara Atlas, terutama di jantung masif Djebel Amour,
di ketinggian antara 1.000 and1.500 m dpl dengan kemiringan 12,5 hingga 25%;
dan (2) Laghouat: (33 ° 47'N 02 ° 51 'E) yang terletak di kaki selatan Atlas
Sahara, di ketinggian antara 700 dan 1.000 m a.s.l. dan kemiringan dari 0
hingga 3%.
Penelitian ini dilakukan di tiga jenis
habitat, jarak antara mereka hingga 100 km: (i) Hutan Pinus (34 ° 07'N 02 °
05'E): terletak di dataran tinggi wilayah Aflou, di ketinggian 1.450 m dpl
Habitat ini adalah area yang ditanami dengan tujuan untuk mengurangi creep
dari desertifikasi dan penyebarannya ke bagian utara negara yang subur; itu
termasuk berbagai jenis tanaman, termasuk pinus Aleppo (Pinus halepensis
Mill.) yang terkait dengan pembentukan rumput halfah (Stipa tenacissima L.);
(ii) Sungai Kering (33 ° 08'N 02 ° 53'E): terletak di M'Zi, wilayah Laghouat.
Lokasi penelitian adalah wadi (sungai kering), pada ketinggian 760m a.l.,
Ditandai dengan tanaman herba dan diwakili terutama oleh rumput aristida
(Aristida pungens Desf.) Tersebar di tanah berpasir;
(iii) Dhaya (33 ° 9NN ° 20'E): terletak di Tilghimt, 100 km selatan Laghouat,
di ketinggian 700m a.s.l. Stasiun ini adalah depresi tertutup di mana air non
salin menumpuk dan kemudian menguap atau menyusup dengan sangat lambat tanah halus. Dhaya terutama ditandai oleh kehadiran
Atlas pistachio (Pistacia atlantica Desf.)
Dan jujube liar (Ziziphus lotus
(L.) Lam.)
Pengambilan sampel semut dilakukan dengan
menggunakan dua teknik pengumpulan. Yang pertama adalah metode kuadrat, yang
terdiri dari penghitungan secara manual dan menangkap spesies semut di atas
lahan seluas 100 m2 (10 mx 10 m). Metode kedua yang digunakan adalah pitfall
trap. Proses ini terdiri dari mengubur pot logam (diameter 7,5 cm dan
kedalaman 10,5 cm) hingga permukaan tanah; mereka ditempatkan pada bidang
transek 10 jebakan, dengan jarak 5m. Dua pertiga dari pot yang terkubur diisi
dengan campuran yang menarik (air dengan deterjen) dan dibiarkan selama 2
hari (48 jam).
Semut diidentifikasi menggunakan kunci
Cagniant (1996, 1997, 2009), Cagniant dan Espadaler (1997) dan situs Internet
B. Taylor ("Ants of Africa"). Sebagian semut dikirim ke Profesor
Henri Cagniant (Universitas Paul Sabatier, Toulouse, Prancis) untuk
identifikasi. Spesimen voucher semut disimpan dalam koleksi H. Cagniant dan Departemen Zoologi dari Sekolah Nasional Ilmu
Pengetahuan Pertanian (Aljazair).
|
Myrmecofauna: ditemukan total 20 spesies
semut di tiga stasiun yang diteliti dari tiga sub-keluarga: Dolichoderinae
diwakili oleh satu spesies tunggal: Tapinoma nigerrimum, Myrmicinae diwakili
oleh Messor arenarius, Messor
aegyptiacus, Messor sanctus, Messor medioruber Santschi, Messor capitatus, Tetramorium biskrensis,
Tetramorium sericeiventre Emery, Monomorium salomonis (Linna) Monomorium
subopacum, Pheidole pallidula dan
Cardiocondyla batesii.
Sub-keluarga Formicinae diwakili oleh dua
genera saja: i) Camponotus dengan Camponotus
thoracicus, Camponotus foreli
Emery, Camponotus alii Forel dan Camponotus
barbaricus Emery, ii) Cataglyphis, diwakili oleh empat spesies, yaitu Cataglyphis (Cataglyphis, Cataglyphis,
Cataglyphis bombycina, Cataglyphis albicans dan Cataglyphis rubra. Kelimpahan setiap
spesies semut berbeda sesuai teknik pengambilan sampel yang digunakan, karena
spesies tertentu hanya terjadi dalam metode kuadrat, seperti halnya M. aegyptiacus, T. sericiventre, M.
subopacum, C. thoracicus. Perbedaan antara jumlah spesies semut yang
diambil oleh dua metode pengambilan sampel belum signifikan secara statistik.
(Uji peringkat bertanda Wilcoxon; perangkap
lubang: p> 0,05, perangkap kuadrat: q=0,65
Daerah studi sangat berbeda dari sudut pandang sifat floristik dan
aspek fisiognomik dan bahkan edafisnya, dan tampaknya secara langsung
mempengaruhi ekologi dan distribusi komunitas semut, khususnya 17 spesies
yang ditangkap oleh perangkap jebakan. Namun, hanya ada dua spesies yang umum
di tiga jenis vegetasi, yaitu C.
bicolor dan M. salomonis. Semut lain dianggap sebagai karakteristik
masing-masing wilayah.
Total kekayaan semut yang tinggi di lingkungan hutan (9 spesies) juga
cocok dengan hasil yang diperoleh untuk indeks keanekaragaman Shannon. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa lingkungan ini adalah yang paling
terdiversifikasi (H = 1,96), diikuti oleh Dhaya (H = 1,64) dan sungai kering
(H = 1,20). Di sisi lain, indeks dominasi di tiga habitat yang diteliti sedikit
tinggi di sungai kering M'Zi (D = 0,3) dibandingkan dengan yang ada di Dhaya
(D = 0,2) dan hutan pinus (D = 0,1). Indeks kerataan Pielou bervariasi antara
J = 0,74 hingga J = 0,89 di tiga lokasi. Nilai cenderung ke 1, yang berarti
bahwa jumlah spesies tetap dalam proporsi yang sama dan cenderung stabil
|
Myrmeco-fauna
Stepa Aljazair
Kelimpahan semut
|
HASIL SINTESISDari tabel sintesis diatas, diketahui bahwa terdapat keanekaragaman
semut tingkat sufamili yang dibagi menjadi 5, yaitu Formicinae, Ponerinae,
Dolichodorinae, Cerapachyinae, dan Mymicinae. Subfamili ini terdapat beberapa
spesies yang berhasil didentifikasi. Berikut spesies dari 5 subfamily semut
yang diidentifikasi: 1. Sub famili Formicinae teridir dar:i Paratrechina longicornis,
Anoplolepis gracilipes, Oecophylla smaragdina, Polyrachis sp., Camponotus sp.,
Nylanderia sp., Cataglyphis rubra, Cataglyphis
albicans, Cataglyphis bicolor, Cataglyphis bombycina, Lasius sp., Polyrhachis
dives, Polyrhachis bellicosa, Echinopla lineata, Formicoxenus hirticornis, Formica oreas. 2. Sub famili Cerapachyinae terdiri dari: Cerapachys sp. 3. Sub famili Ponerinae terdiri dari Diacamma
s.p, Odontoponera sp., Odontomachus sp, Platythyrea parallela, Cerapachys sp., Hypoponera sp., Anochetus graeffei.,
Leptogenys diminuta. 4. Sub famili dari Dolichodorinae, Ochetellus
sp., Tapinoma sp., Tapinoma sp., Irydomyrmex
sp., Tapinoma nigerrimum, Messor medioruber, Messor
capitatus, Messor arenarius, Messor sanctus,
Odontoponera denticulata, Trichomyrmex destructor, Monomorium
minimum, Solenopsis geminata, Iridomyrmex anceps, Dolichoderus thoracicus,
Dolichoderus beccarii, Dolichoderus taschenbergi, 5. Sub famili dari Myrmicinae terdiri
dari: Cataulacus sp., Myrmica quebecensis, Myrmica lampra, Myrmica alaskensis, Myrmica
nearctica, M. Crassirugis. Tetramorium simillimum,
Tetramorium bicarinatum, Tetramorium lanuginosum, Lophomyrmex sp., Lophomyrmex
opaciceps, Crematogaster sp., Monomorium sp., Pheidolegeton sp., Pheidole sp., Tetramorium biskrensis, Monomorium salomonis,
Pheidole pallidula, Cardiocondyla batesii, Camponotus barbaricus, Camponotus
foreli, Camponotus alii, Camponotus thoracicus, Rhoptromyrmex wroughtonii,
Meranoplus bicolor, Cardiocondyla nuda, Harpagoxenus
canadensis, Leptothorax canadensis. Anggota
sub famili Myrmicinae merupakan kelompok semut yang memiliki jumlah spesies
paling banyak ditemukan di hutan musim TNB. Anggota sub famili Myrmicinae
didominasi oleh Genus Tetramorium, Monomorium dan Pheidole. Meskipun demikian,
banyaknya jumlah jenis anggota sub Famili Myrmicinae tidak sebanding dengan
banyaknya individu yang diperoleh. Pheidole merupakan genus yang memiliki
jumlah spesies lebih banyak dibandingkan anggota genus lain. Hutan musim
memiliki tekstur tanah yang gembur dan terdapat banyak tumpukan serasah.
Kondisi tersebut diasumsikan sebagai salah satu faktor pendukung terhadap
keberadaan genus Tetramorium, Monomorium, dan Pheidole. Menurut Sharaf dkk.,
(2012) kelompok genus Tetramorium banyak dijumpai membuat sarang pada kayu yang
lapuk, tumpukan serasah atau tanah. Pola Keberadaan Semut Tanah di Tepian
Sungai Musi Gandus Kota Palembang menunjukkan bahwa lokasi lingkungan dalam
kondisi tertentu dapat berpengaruh terhadap keberadaan semut. Jumlah spesies
semut yang didapatkan cenderung meningkat seiring dengan berkurangnya aktivitas
manusia. Stasiun yang paling tinggi keanekaragaman semut tanah adalah hutan dan
yang paling rendah berada di tepi Sungai Musi.Pernyataan ini didukung oleh
Latumahina et al. (2015) bahwa keberadaan dan jumlah individu semut
dipengaruhi oleh penggunaan lahan. Artinya semakin tinggi gangguan manusia,
maka semakin rendah keanekaragaman semut, namun jumlah spesies semut cenderung
meningkat seiring dengan penurunan tingkat gangguan. Secara berturut-turut
mulai dari tepi sungai, rumah, semak, kebun, dan hutan. Penggunaan lahan untuk berbagai kebutuhan manusia mempengaruhi
ketersediaan pakan dan iklim mikro di tiap tipe stasiun. Stasiun tepian sungai
Musi Gandus merupakan wilayah yang dijadikan masyarakat untuk bertempat
tinggal, industri karet, pertanian, dan perkebunan. Keadaan ini menyebabkan
tidak semua semut dapat berkembangbiak. Semut dengan kemampuan adaptasi yang
tinggi mampu hidup di lokasi ini. Hal ini didukung oleh Rizali et al. (2008), urbanisasi di area Bogor
menyebabkan homogenisasi komunitas semut. Setiap stasiun memiliki jenis dan
keanekaragaman semut yang berbeda-beda, sesuai dengan stasiunnya masing-masing.
Satu spesies didapatkan pada tepi sungai Musi, yaitu spesies P. megacephala.
Semut tanah yang ditemukan di tepian Sungai Musi hanya satu jenis. Hal ini
disebabkan vegetasi yang sangat sedikit pada habitat ini. Tumbuhan yang
ditemukan mayoritas Talas Bogor (Colocasia esculenta). Sementara itu,
semut-semut jenis D. intricatum, Acanthomyrmexsp, C. ligniperda, T.
Melanocephalum dan lain-lain membutuhkan ranting, kayu mati, atau tanah
untuk bersarang, mencari makan, atau pun berlindung. Contoh semut lain yang
tidak dtemukan di tepi sungai Musi adalah semut rangrang (Oecophylla
smaragdina). Semut dari subsuku Formicidae ini memiliki cara hidup yang
khas, yaitu dengan merajut daun-daun pohon sampai daun tersebut terlipat. Hal
ini dilakukan untuk membuat sarang. Semut rangrang menyukai udara segar
sehingga tidak mungkin ditemukan di dalam rumah, melainkan di atas pohon
tertentu (Mele & Cuc, 2004). Semut yang ditemukan pada rumah dengan ketinggian tempat (<100 m) didominasi oleh semut
tramp, yaitu: S. germinata, P. longicornis, dan P. megacephala. Ketiga
jenis semut tanah tersebut biasa berasosiasi dengan manusia dan bersifat
invasif. Perilaku yang invasif inilah yang menjadi alasan kuat mengapa
semut-semut ini ditemukan begitu banyak di habitat rumah (Hasriyanty et al.,
2013). Semak-semak dengan jarak <100 m ditemukan semut semut invasif,
yaitu: S. germinata, P. megacephala, dan P. longicornis.
Jenis-jenis semut yang ada di stasiun ini cenderung memiliki kesamaan dengan
stasiun rumah yang berjarak <100 m, namun komposisi spesies semut berbeda.
Spesies semut cenderung sama, karena stasiun semak berada dekat dengan area
permukiman. Jaraknya tidak kurang dari 20 m. Hal ini mengakibatkan semut yang
hadir pun adalah semut, semut tramp dengan jenis yang sama. Semak-semak dengan jarak <100 m ditemukan semut semut invasif,
yaitu: S. germinata, P. megacephala, dan P. longicornis.
Jenis-jenis semut yang ada di stasiun ini cenderung memiliki kesamaan dengan
stasiun rumah yang berjarak <100 m, namun komposisi spesies semut berbeda.
Spesies semut cenderung sama, karena stasiun semak berada dekat dengan area
permukiman. Jaraknya tidak kurang dari 20 m. Hal ini mengakibatkan semut yang
hadir pun adalah semut, semut tramp dengan jenis yang sama. Semak dengan jarak 100-200 m banyak dihuni oleh semut jenis T.
melanocephalum. Semut ini hanya ditemukan di semak-semak dan hutan. Lokasi
sebelumnya memang terdapat semak-semak, tetapi masih di area permukiman
manusia. Besar kemungkinan semut ini tidak mampu bersaing dengan semut-semut
lain di permukiman manusia. Hal ini disebabkan ukurannya yang terbilang kecil
dibanding semut pada umumnya, yaitu berkisar ±2 mm. Ukuran yang kecil ini
membuat semut ini lambat dalam bergerak. Semut ini cepat melakukan migrasi ke
tempat lain, apabila kondisi lingkungan tidak menguntungkan. Eleanor (2013)
melaporkan bahwa ketika kondisi di luar sarang T. melanocephalum berubah,
seperti terjadi banjir besar atau pun ada spesies dominan lain yang hadir maka
semut ini akan pergi. Semut dari subsuku Dolichoderinae ini memindahkan
sarangnya tiap dua minggu sekali. Selain itu, T. melanocephalum tidak
dilengkapi perlindungan diri seperti sengat milik semut dari subsuku Ponerinae
dan Myrmicinae atau pun acidopore seperti milik Formicinae. Kebun milik warga ditanami berbagai tumbuhan seperti pisang, tebu, cabai
rawit, singkong dan pepaya. Tanaman yang beraneka ragam menyebabkan jenis semut
yang hadir semakin meningkat. Hal ini menyebabkan kesediaan makanan makin
beragam, sehingga relung hidup semut semakin tinggi. Stasiun kebun terdapat
spesies Acanthomyrmex sp., S. germinata, P. longicornis, T. melanocepahalum,
dan C. ligniperda.Di stasiun kebun tidak ditemukan Monomorium
pharaonis. Semut inimakan secara berkoloni dengan ukuran tubuh sangat
kecil. Ukuran yang kecil dan pergerakan yang lambat menyebabkan kalah kompetisi
dengan jenis semut lain. Demikian pula Diacamma tidak ditemukan. Semut
ini yang memiliki sengat ini bersarang di kayu besar yang sudah mati. Sementara
itu, kebun tersebun tidak terdapat potongan kayu-kayu besar sebagai tempat
hidup D. intricatum. Stasiun hutan ditemukan beberapa jenis semut seperti, Acanthomyrmex sp., S.
germinata, P. longicornis, T. melanocepahalum, D. intricatum dan C.
ligniperda. Hutan mampu memberikan faktor lingkungan biotik dan abiotik
yang baik bagi flora dan fauna, termasuk bagi semut. Pada stasiun ini terdapat
berbagai vegetasi yang heterogen, seperti kelor, lamtoro, talas bogor, teki,
dan lain-lain. Vegetasi tumbuhan mampu memengaruhi ketersediaan habitat bagi
serangga permukaan tanah. Serasah di atas permukaan tanah sangat menunjang
kehadiran serangga. Semut
dalam hutan sekunder menunjukkan respon yang berbeda dalam menanggapi tekanan
dan gangguan yang terjadi dalam habitatnya. Spesis yang memberikan respon sama
dikelompokkan dalam satu tipe fungsional yang sama dan spesis yang berbeda
respon akan dikelompokan dalam tipe fungsional yang berbeda. Dalam hutan
sekunder terdapat tujuh tipe kelompok fungsional yakni oppurtunist, generalized
myrmicinae, specialis predator, tropical climate specialis, dominant
dolichoderinae, subordinate camponitini dan Criptic species.
Semut opportunist umumnya hidup pada areal yang terganggu sebagai akibat
kehadiran manusia atau pada daerah dengan tingkat diversitas yang rendah
(Giler, 2002). Kerusakan
antropogenik melalui tindakan pengalihan fungsi kawasan dan pembukaan kawasan
hutan untuk dijadikan sumber kayu bakar, sumber bahan makanan, lahan
pengembalaan ternak dapat mempengaruhi kekayaan, kelimpahan, keragaman dan
kekayaan spesis semut dalam hutan lindung. Hal ini sependapat dengan (Garden
dkk., 2007) bahwa perilaku manusia akan menurunkan keragaman jenis dan
meningkatkan dominansi semut dan menimbulkan ketidakstabilan
bio-diversitas. Kelompok
ini memiliki areal jelajah yang luas sehingga dapat ditemukan di berbagai
tempat. Tipe opportunist biasanya hidup pada habitat yang memiliki
fluktuasi suhu yang tinggi, kelembaban relatif rendah dan penutupan kanopi yang
rendah khususnya areal hutan yang masih muda (Whitmore, 2000). Kelompok semut
ini mengambil keuntungan dari gangguan yang terjadi dalam habitat, tidak mampu
berkompetisi karena distribusinya sangat dipengaruhi oleh kompetisi dari semut
lain. Distribusi habitat sangat luas, namun hanya mendominasi pada wilayah dengan
tingkat tekanan dan gangguan yang tinggi sehingga akan membatasi produktivitas
dan keragaman semut (Holldobler dan Wilson, 1990). Kelompok fungsional dominant dolichoderinae
ditemukan sangat melimpah, sifatnya sangat aktif dan agresif serta terjadi
persaingan yang kuat antara koloni dan umumnya berperan sebagai forager.
Jumlahnya sangat melimpah pada beragam habitat khususnya daerah tropis, dengan
tingkat aktivitas mencari makan sangat tinggi. Kelompok ini merupakan taksa
yang sangat dominan, bersifat kompetitif dan mendominasi lingkungan yang
mengalami gangguan. Kelompok
fungsional subordinate camponitini umumnya berukuran tubuh besar, banyak
beraktivitas dari pagi hingga malam hari. Perilaku kelompok ini menyerupai tipe
dominant dolichoderinae dengan berperan sebagai forager. Kelompok
ini tidak sekompetitif semut lain dan biasanya ditemukan dalam jumlah yang
sedikit pada tiap tipe habitat (Holldobler dan Wilson, 1990). Kelompok
generalized myrmicinae bersifat kosmopolitan karena dapat ditemukan di
berbagai tipe habitat yang sesuai dengan kebutuhannya. Umumnya saling membantu
apabila ada anggota koloni yang diserang. Bersifat mengelompok dalam pencarian
makanan dan cenderung memiliki wilayah pencarian makan yang tidak jauh.
Kelimpahan spesis ini berubah selama suksesi
hutan sehingga terdapat hubungan yang linear antara kelimpahan spesis
semut ini dengan umur hutan hujan tropis. Tipe ini mampu bersaing pada habitat
yang kaya akan sumber daya. Kelompok
fungsional tropical climate spesialis umumnya bersifat generalized
foragers dalam hutan sekunder dengan perannya sebagai predator, seed
harvester dan scevenger. Umumnya hidup pada habitat yang memiliki
fluktuasi suhu yang tinggi, kelembaban relatif rendah dan penutupan kanopi yang
rendah (Stephens dan Wagner, 2006). Kelompok
fungsional spesialis predator umumnya berperan sebagai predator dalam
jaring makanan. Senang memangsa arthropoda lain, jumlah spesisnya rendah karena
sangat tergantung pada mangsa dan umumnya memiliki interaksi yang rendah dengan
semut lain. Kelompok
cryptic species umumnya hidup di permukaan tanah, dalam tanah dan
serasah, bersifat generalized foragers, serta mempunyai hubungan
dengancsemut epigeic (Stephens dan Wagner, 2006). Salah satu spesies pada penelitian oleh Latumahina
(2016) yakni Respon Semut Terhadap
Kerusakan Antropogenik Pada Hutan Lindung Sirimau, Ambon tentang yaitu,Crematogaster
sp 1 berasal dari subfamily myrmicinae Spesis ini merupakan spesis
arboreal, ditemukan cukup banyak menjelajahi batang pepohonan, ranting dan cabang
pohon tusam (Pinus merkusii Jung Et de Vriese), lenggua (Pterocarpus
indicus), kayu merah (Eugenia rumphii) dan asam jawa (Tamarinus
indica). Subfamily ini bersifat omnivora, berperilaku seperti pemburu
karena kasta pekerja cukup agresif dan akan menyerang jika diganggu. Berperan
sebagai predator hemiptera, namun dapat pula sebagai pemakan madu dengan
melindungi hemyptera dari predator lainnya (Nakamura dkk., 2007). Dari
penelitian Glasier et al (2019)
menyatakan bahwa meskipun ekosistem tidak umum, bukit pasir Alberta adalah
habitat bagi sekitar satu sepertiga dari spesies semut Alberta (35 dari 92
spesies) . Demikian pula, bukit pasir terbuka di dalam Great Sand Hills of
Saskatchewan selatan juga memiliki kekayaan spesies yang lebih rendah, kemungkinan
besar karena mereka mewakili yang lebih keras dan lingkungan yang kurang
heterogen dibandingkan dengan bukit pasir yang ditumbuhi lebih jauh ke utara (
Lessard and Buddle, 2005). Semua daerah Kanada lainnya yang dilaporkan berhutan
dengan keanekaragaman semut yang lebih rendah, kemungkinan karena kanopi lebih
tinggi tutup, lebih sedikit tepi, homogenitas vegetasi, dan lebih banyak tanah
mesic. Semut dikaitkan dengan hutan tepi di mana mereka memanfaatkan matahari
untuk kehangatan, dan kemampuan untuk menggunakan banyak vegetasi. Studi
terkini tentang keanekaragaman semut di distrik Charsadda adalah akun pertama
semut di wilayah penelitian dan juga di Khyber Pakhtunkhwa, yang melaporkan 19
spesies ditempatkan di 11 genera dan tiga subfamili. Studi tersebut melaporkan
satu subfamili, tujuh genera dan 13 spesies mereka untuk yang pertama waktu
dari Pakistan. Tiga belas spesies dilaporkan selama penelitian ini mewakili
laporan spesies di Pakistan sejak 1947. Enam spesies yaitu Meranoplus bicolor, Camponotus compressus, Camponotus oblongus,
Camponotus sericeus, Lepisiota frauenfeldi, Paratrechina longicornis sudah
dilaporkan oleh penelitian lain. Salah satu spesiesnya, Paratrechina
longicornis sudah terdaftar di fauna semut Pakistan di Antwiki
(www.antwiki.org) dan Antweb (www. antweb.org) situs web tanpa menyebutkan
secara langsung kutipan sementara tersisa lima spesies yaitu Camponotus kompresus, Camponotus oblongus,
Camponotus sericeus, Lepisiota frauenfeldi, Meranoplus bicolor dilaporkan
oleh Umair et al. (2012) dari dataran
tinggi Potohar Punjab, Pakistan. Enam belas spesies yang didokumentasikan oleh
Umair et al. 2012) yaitu Holcomyrmex scabricps, H. glaber, Pheidole
nietneri, P. pronotalis, P. mus, Monomorium logni, M. schurri, Solenopsis
geminate, Atopomyrmex ceylonicus, Crematogaster rothneyi, Tetramorium smithi,
Polyrachis hodgsoni, Camponotus confucii, C. japonicas, Lasius alienus dan
Liponera longitarsus tidak dilaporkan saat ini survei. Ini bisa jadi karena
perbedaan ekologis dan kondisi habitat dari mana koleksi dibuat. Semua spesies
yang diakui dalam penelitian ini adalah juga dilaporkan oleh berbagai
penelitian dari India dan saat ini dalam daftar spesies semut India yang
terdaftar oleh Bharti (2011). Bharti (2011) meminta total 652 spesies valid
yang diketahui terjadi di India. Sebelumnya Umair et al. (2012) melaporkan 21 spesies ditempatkan dalam 13 marga dari
Pakistan dan kemudian Bodlah et al.
(2016) selanjutnya menambahkan dua spesies dari satu genus Tetraponera.
Penelitian lain dilakukan pada berbagai genera melaporkan 23 spesies berbeda
dari Pakistan. Belajar kita selanjutnya menambahkan 13 spesies, 4 genera baru
dan satu subfamili ke fauna semut Pakistan membawa jumlah total spesies ke 59,
genera ke 18 dan subfamilies ke enam. Studi tersebut menunjukkan bahwa hanya satu
spesies saja yaitu Tapinoma
melanocephalum telah dilaporkan dari dalam ruangan situs pengumpulan dimana
tujuh spesies telah dilaporkan hanya dari situs pengumpulan luar ruangan,
sementara sisanya 11 spesies telah dilaporkan baik dari dalam maupun dari dalam
situs koleksi luar ruangan. Tidak ada hubungan yang diamati antara jenis situs
koleksi luar ruangan dan kejadian jenis. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa
spesies tertentu dilaporkan dari wilayah Potohar Punjab (Umair et al. 2012) tidak dilaporkan dalam
penelitian saat ini. Deskripsi spesies tersebut menunjukkan bahwa mereka
sebagian besar telah dikumpulkan dari hutan area Taman Ayub atau dari daerah
perbukitan Islamabad. Wilayah studi kami sebagian besar terdiri dari habitat
kering dan semi kering jadi spesies yang dilaporkan dalam penelitian ini tidak
dilaporkan oleh Umair et al. (2012)
dan sebaliknya karena perbedaan dalam habitat dua wilayah studi. Daerah
penelitian kami terjadi pada ekozon palearctic dan Afghanistan juga berada di
wilayah palearctic, sehingga memiliki kesamaan fauna mungkin diharapkan sampai
batas tertentu. Itu jelas dibenarkan oleh hasil yang dilaporkan beberapa
spesies dalam penelitian ini juga didokumentasikan oleh penelitian yang berbeda
dilakukan di Afghanistan. Lima spesies yaitu Monomorium indicum, Cataglyphis
setipes (Cataglyphis longipedum), Camponotus sericeus, Tapinoma melanocephalum
dan Acatholepis frauenfeldi (Lepisiota
frauenfeldi) juga ada dilaporkan oleh Collingwood (1961) dari Afghanistan.
Namun bidang ini masih membutuhkan banyak pekerjaan. Studi selanjutnya harus
mencakup lebih banyak daerah yang belum dijelajahi dan keanekaragaman habitat
yang seharusnya disurvei untuk fauna semut Pakistan. Seiring dengan semut
keanekaragaman studi ekologi juga harus dilakukan mengetahui efek ada tidaknya
hal-hal penting tersebut bioengineer dan indikator ekologi pada ekologi daerah
tertentu. Kisaran pH pada hutan, yaitu 4,6 sampai 7 atau cenderung netral.
Kisaran ini umum untuk kebanyakan makhluk hidup termasuk semut. Keadaan netral
dan relatif asam, semut dapat hidup dengan baik. Derajat keasaman atau pH tanah
memiliki peran penting padaekologi hewan tanah, sebab jika asam atau basa semut
kemungkinan tidak dapat bertahan hidup dan berkembangbiak (Suin, 2007).
Pengukuran pH sangat penting dalam meneliti fauna tanah. Organisme atau spesies
ada yang toleran terhadap pH asam dan ada pula yang pH basa (Rahmawati, 2004).
Secara umum semut dapat hidup pada suhu yang berlebih, namun jika terlalu
tinggi dapat membahayakan hewan avertebrata ini. Suhu tanah yang ideal untuk hidup bagi semut
adalah 18 oC - 30 oC. Suhu tanah sangat menentukan
kehadiran dan kepadatan organisme tanah, sebab ada hubungan antara kepadatan
organisme tanah dengan suhu tanah. Tanah lembab dengan sumber makanan yang
melimpah sangat mendukung kehidupan semut (Suin, 2007). Rahmawati (2004)
menyatakan bahwa proses reproduksi, fisiologis dan metabolisme semut akan
terganggu, jika suhu tanah yang terlampau tinggi. Fluktuasi suhu tanah sangat
tergantung pada keadaan topografi, cuaca, keadaan tanah, penutupan awan,
radiasi matahari, angin dan hujan. Suhu tanah hutan dipengaruhi oleh penutupan
vegetasi, penutupan vegetasi yang rapat akan menghalangi masuknya sinar
matahari hingga ke lantai hutan, sehingga mempengaruhi suhu permukaan tanah dan
suhu udara. Keberadaan semut di berbagai lokasi tepian sungai Musi Gandus Palembang
memiliki pola fluktuasi jumlah dan jenisnya. Hal ini disebabkan oleh
keanekaragaman jenis tumbuhan dan aktivitas manusia (perkebunan dan perumahan)
yang ada di wilayah tersebut. Stasiun dengan jenis terbanyak, yaitu hutan dan
yang paling sedikit, yaitu tepi sungai. Semut
mempunyai korelasi yang kuat dengan variabel ekosistem yakni vegetasi, iklim
mikro, tanah, dan fauna tanah lainnya (Shahabudin, 2011). Semut dapat menjadi
indikator biologi untuk menilai perubahan lingkungan karena mudah dikoleksi,
biomassa dominan, taksonomi maju, dan sensitif pada perubahan lingkungan
(Agosti dan Alonso, 2000) dan mampu merespon perubahan yang terjadi dalam
ekosistem (Pecarevic dkk., 2010). Variasi
nilai suatu kelimpahan jenis semut diduga dipengaruhi oleh faktor iklim,
ketersediaan makanan, ketinggian tempat, kandungan bahan organik dan nilai pH
tanah. Pada suhu udara yang terlalu tinggi beberapa proses fisiologis seperti
reproduksi, metabolisme dan respirasi semut akan terganggu. Suhu udara yang
sesuai untuk pertumbuhan semut antara 15-27oC, dimana suhu
yang lebih tinggi bersifat toleran apabila terdapat naungan yang cukup dengan
kelembaban optimal (Rizali, 2007). Rata-rata suhu udara pada saat penelitian
yakni 27 oC dengan kelembaban udara sebesar 85 % diduga sangat cocok
untuk aktivitas semut. Suhu udara berbanding lurus dengan kelimpahan,
distribusi dan keragaman semut. Hal ini sejalan dengan keberadaan semut sebagai
organisme thermopholic yang sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan.
Semut menyukai udara yang sejuk dan lembab dan tidak terlalu panas untuk
aktivitas harian dan reroduksinya (Shattuck, 2000). Faktor
ketersediaan vegetasi dalam hutan sekunder juga dapat mempengaruhi keragaman
dan kelimpahan semut, karena semut memanfaatkan vegetasi sebagai sumber bahan
makanan, tempat bersarang, habitat dan tempat berlindung. Faktor ketinggian
tempat dapat mempengaruhi kelimpahan semut dalam hutan sekunder, karena semakin
tinggi ketinggian tempat maka akan semakin menurun kelimpahan spesisnya.
Ketinggian hutan sekunder antara 250-500 m dpl diduga cocok bagi
penyebaran semut dalam kawasan hutan sekunder. Perbedaan umur tanaman juga
dapat mempengaruhi kelimpahan spesis semut karena berhubungan dengan
ketersediaan dan kualitas makanan. Pada saat penelitian ditemukan banyak sarang
pada beberapa pohon yakni akasia (Acaciamangium), salawaku (Paraserianthes
falcataria ), ekaliptus (Eucalyptus alba) dan durian (Durio
zibethinus) yang diduga sangat disukai oleh semut dimana pepohonan ini
dijadikan sebagai tempat bersarang dan sumber makanan bagi semut. Peran
penting semut sebagai soil engineer sangat penting bagi ekosistem. Dalam
hal ini semut ikut berperan dalam merombak material organik. Material organik
seperti serasah, batang dan cabang mati, binatang mati merupakan produk hutan
yang mutlak perlu dipecah menjadi partikel yang lebih kecil, sehingga akhirnya
dapat dirombak menjadi senyawa organik atau nutrien yang dapat diserap kembali
oleh tumbuhan. Aktifitas perombakan tersebut penting dalam proses pembentukan
material organik tanah (Kahono dan Amir, 2003). Kondisi
vegetasi di hutan musim sangat variatif, mulai dari kelompok herba, semak, dan pohon. Kondisi
tersebut menciptakan variasi iklim mikro serta banyak relung ekologi di hutan
musim sehingga mampu mendukung lebih banyak spesies bisa beradaptasi dan
tinggal di hutan musim. Pada penelitian
yang dilakukan di
ekosistem Hutan Musim oleh Siriyah
S.L (2016) manyatakan bahwa genus Tetramorium, Monomorium, dan Pheidole merupakan genus yang
memiliki jumlah spesies lebih banyak dibandingkan anggota genus lain. Hutan
musim memiliki tekstur tanah yang gembur dan terdapat banyak tumpukan serasah.
Kondisi tersebut diasumsikan sebagai salah satu faktor pendukung terhadap
keberadaan genus Tetramorium, Monomorium, dan Pheidole. Menurut Sharaf dkk,
(2012) kelompok genus Tetramorium banyak dijumpai membuat sarang pada kayu yang
lapuk, tumpukan serasah atau tanah. P. longicornis
tertarik pada umpan gula dan ikan, selain
itu, semut tersebut juga terperangkap oleh perangkap sumuran yang dipasang pagi
dan sore hari. Hal ini menunjukkan semut ini aktif siang dan malam hari. Dalam
kegiatan koleksi semut di ekosistem Hutan Musim diperoleh Oecophylla
smaragdina atau dikenal sebagai semut rang-rang. Spesies tersebut memiliki
potensi nilai ekonomi cukup tinggi. Larva serta koloni semut ini banyak
dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber pakan burung. Selain itu, Oecopylla
smaragdina memiliki potensi besar sebagai predator hama dan dapat
dimanfaatkan sebagai agen pengendalian hayati. Spesies ini secara signifikan
menurunkan populasi beberapa spesies hama pada tanaman mete (Anacardium
occidentale L.) di Australia (Peng, R.K., dkk., 1995). Pada
penelitian tentang Keanekaragaman dan Kelimpahan Semut sebagai Predator Hama
Tanaman Padi di Lahan Sawah Organik dan Anorganik Kecamatan Karanganom
menyebutkan bahwa keanekaragaman semut di lahan sawah organik maupun lahan
sawah anorganik tergolong rendah sampai sedang. Secara umum indeks
keanekaragaman di lahan sawah organik lebih besar dibandingkan dengan lahan
sawah anorganik. Rendahnya indeks keanekaragaman di lahan sawah anorganik
menunjukkan ekosistem yang kurang stabil. Hal tersebut dapat disebabkan oleh
adanya pengaplikasian pestisida kimia sintetik yang dapat menurunkan populasi
semut di lahan sawah anorganik dan juga disebabkan oleh sistem pertanaman di
lahan sawah yang monokultur. Semakin rendah nilai indeks keanekaragaman maka
semakin menurun tingkat kestabilan pada suatu ekosistem (Krebs, 1989). Menurut
Tauruslina dkk, (2015), penggunaan insektisida pada lahan pertanian secara
intensif tidak hanya dapat menurunkan populasi hama, tetapi juga dapat
menurunkan populasi dan keanekaragaman serangga lain seperti predator dan musuh
alami lainnya.Perbedaan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti fase pertumbuhan
tanaman padi, tipe umpan yang digunakan, lama waktu penelitian, faktor fisik
kimia lingkungan, letak geografis, aplikasi pupuk dan pestisida pada lahan
sawah organik dan anorganik Keanekaragaman
semut yang berpotensi sebagai predator hama tanaman padi di antaranya adalah
semut Anoplolepis gracilipes, Solenopsis geminata, dan Paratrechina
longicornis. Semut tersebut memiliki potensi sebagai predator hama tanaman
padi dikarenakan termasuk jenis semut tramp yang bersifat invasif dan
dapat menurunkan populasi serangga lainnya di lahan sawah. Hasil uji Hutchinson
di lahan sawah organik dan anorganik pada tipe umpan hama menunjukkan hasil
signifikansi yang berkebalikan dari tipe umpan daging ikan. Hal tersebut
dikarenakan spesies semut yang berbeda menyukai umpan yang berbeda pula.
Pengaplikasian pestisida sintetik mempengaruhi jumlah bahan organik yang
terkandung dalam tanah. Bahan organik di lahan sawah organik lebih tinggi
dibandingkan dengan lahan sawah anorganik dikarenakan pada pengaplikasian
pestisida kimia di lahan sawah anorganik akan berdampak pada terbunuhnya fauna
tanah atau berpindahnya organisme pengurai yang menyebabkan hilangnya keseimbangan
ekosistem. Ketersediaan bahan organik akan meningkatkan aktivitas fauna tanah
(Wulandari dkk, 2005). Semut
memiliki peran penting dalam keseimbangan ekosistem di suatu habitat. Peranan
pada umumnya sebagai predator, pengurai, herbivor .Peran semut sebagai predator umumnya
memangsa serangga hama seperti ulat, kumbang, belalang, wereng, penggerek
batang, dan kutu putih. Sebagai contoh
pada semut Anoplolepis menjadi predator bagi seranggaserangga kecil
seperti trip (thrip) dan kutu putih (Ikbal dkk, 2014). Semut yang
ditemukan di lahan sawah organik dan anorganik selain berperan sebagai predator
beberapa juga memiliki peran sebagai pengurai sisa-sisa bahan organik. Sebagai
contoh semut yang berperan sebagai pengurai sisa bahan organik yaitu Solenopsis
geminata. Sesuai dengan pendapat Putra (2017), bahwa semut Solenopsis
geminata selain berperan sebagai predator juga berperan sebagai dekomposer
atau pengurai. Di samping memiliki sifat predator, beberapa semut juga memiliki
sifat sebagai herbivor. Semut yang berperan sebagai herbivor diantaranya adalah
Anoplolepis gracilipes, Paratrechina longicornis, Camponotus sp, dan Iridomyrmex
sp. Semut juga memakan biji-bijian dari tumbuhan dan buah. Semut
pekerja Paratrechina sp bersifat omnivora, memakan serangga hidup dan
mati, biji-bijian, buah-buahan, eksudat tanaman, dan makanan rumah tangga
(Ikbal dkk, 2014). Semut juga bersimbiosis mutualisme terhadap serangga lain.
Bentuk simbiosis mutualisme antara semut dengan serangga lain yaitu seperti
pada Tapinoma sp yang membutuhkan embun madu dari kutu daun sebagai
sumber energinya dan kutu daun mendapatkan perlindungan dari serangan serangga
predator lainnya dari semut. Tapinoma sp tertarik pada honeydew (embun
madu) yangdihasilkan oleh kutu daun (Aphids) dan coccids
(Shattuck, 1992).
Keberadaan
semut tramp yang bersifat invasif seperti semut Anoplolepis
gracilipes,Solenopsis geminata, dan Paratrechina longicornis dapat
mengakibatkan berkurangnya keanekaragaman semut lain dikarenakan kalah dalam
berkompetisi. Semut jenis tersebut berpotensi sebagai predator hama tanaman
padi karena keberadaannya yang bersifat invasif berpengaruh negatif terhadap
keanekaragaman serangga lain. Sesuai dengan pendapat Hasriyanty, dkk (2015),
Keberadaan semut tramp yang bersifat invasif, seperti Anoplolepis
gracilipes, Paratrechina longicornis, dan Solenopsis geminata disamping
mampu beradaptasi pada habitat terganggu juga menyebabkan hilangnya spesies
semut yang lain karena kalah berkompetisi.
Gambar 1. Jenis
semut yang tertangkap selama penelitian
(Keanekaragaman dan Kelimpahan Semut
sebagai Predator Hama Tanaman Padi di Lahan Sawah Organik dan Anorganik Kecamatan
Karanganom Kabupaten Klaten: a.Anoplolepis gracilipes, b. Solenopsis
geminata, c. Paratrechina longicornis, d. Camponotus sp, e. Odontoponera
denticulata, f. Lasius sp, g. Monomorium minimum h. Tapinoma
sp, i. Iridomyrmex sp, j. Trichomyrmex destructor, k. Iridomyrmex
anceps. Sumbe gambar :
dokumen jurnal Bioma, Desember 2017
Vol. 19, No. 2, Hal. 125-135. p ISSN: 1410-8801.
Deskripsi
semut pekerja : Kepala dalam tampilan wajah penuh subrangular, jelas lebih
panjang dari lebar, dengan margin posterior cekung sangat lemah atau hampir
lurus, dengan margin lateral cembung lemah, dalam pandangan lateral dengan
margin dorsal lurus dan margin ventral sedikit cembung; mandibula segitiga;
pengunyahan margin mandibula dengan apikal yang besar dan dua gigi preapikal
yang berbeda diikuti oleh serangkaian gigi yang lebih kecil; bagian dasar luar
mandibula tanpa lubang atau alur; bagian tengah clypeus menghasilkan anteriad,
dengan margin anteromedian cekung lemah; mata majemuk terletak di sisi kepala
dekat dengan insersi mandibula, kecil (EL 0,07-0,10 mm), terdiri dari total
12-16 ommatidia; antena 12-merous; scape antennal ketika diletakkan memanjang
melebihi sudut kepala posterolateral dengan panjang segmen antennal II; II
hampir sepanjang total III dan IV; Panjang III-V hampir identik; VI-XII secara
bertahap bertambah panjang menuju apex, tidak membentuk klub yang berbeda.
Pronotum dalam pandangan lateral dengan garis anterodorsal curam; mesonotum
dalam tampilan lateral sedikit cembung; jahitan promesonotal dan jahitan
mesonotal-mesopleural berbeda; lekukan metanotal mencolok melintasi dorsum
mesosomal, sangat diinsisi; mesopleuron tidak dibagi oleh sulkus transversal
yang berbeda; meso-metapleural suture berbeda; propodeum dalam pandangan
lateral dengan dorsum pendek dan cembung samar atau hampir lurus, dan
kemiringan posterior hampir lurus; propodeal spiracle elips; tidak ada lobus
propodeal; bagian apicoventral dari meso dan metatibia dengan taji pektinat
tunggal. Node petiolar dalam tampilan lateral squamiform dan kurus; proses
subpetiolar berkembang dengan baik sebagai lobus, tanpa fenestra anterior,
dalam pandangan lateral dengan cekung yang lemah pada margin ventral, tanpa
proses seperti rak posterior. Perut tergite III selama atau sedikit lebih lama
dari IV. Prora hadir sebagai punggungan berbentuk U yang berbeda di bawah
helcium.
Kepala,
pronotum, mesonotum, dan dorsum propodeum dan tangkai daun seluruhnya tertutupi
oleh tusukan penusuk rambut; mandibula halus; mesopleuron sebagian besar halus
dan mengkilap; metapleuron sebagian besar halus dan berkilau, dengan bagian
posteriormost yang terbaik; pretergite IV hampir halus dan mengkilap, dengan
luruk melintang fuzzy. Tubuh ditutupi dengan pubesensi latar belakang
subdecumbent yang jarang di mesopleuron dan metapleuron daripada di sisa tubuh;
clypeus dengan beberapa setae tegak; mata majemuk dengan rambut pendek di
antara ommatidia; antena tertutup relatif desenly dengan sangat pendek, appres
untuk suberect puber; segmen perut III-VII dengan banyak ereksi setber suberect
antara pubescence latar belakang. Badan berwarna coklat tua hingga coklat
kemerahan; rahang bawah, antena dan pucat kaki.
Deskripsi ratu semut, secara umum penampilan ratu mirip
dengan pekerja. Tubuh lebih besar dari pada pekerja; Gaster terkadang jelas
lebih besar dari pada pekerja. Mata majemuk besar (EL 0,20-0,22 mm), dengan
rambut pendek di antara ommatidia ; ocellihadir; jarak antara ocelli median dan
lateral sepanjang jarak antara ocelli lateral. Mesosoma dengan sklerit utama
yang terkait dengan fungsi sayap; mesoscutum dengan garis parapsidal yang
mencolok, tanpa notauli, dalam pandangan lateral dengan garis anterodorsal yang
sedikit cembung; garis punggung mesonotum dalam pandangan lateral lemah
tertekan antara mesoscutum dan mesoscutellum; mesopleuron dengan berkembang
dengan baik sulkus melintang yang membaginya menjadi bagian atas dan bawah; propodeum
dalam pandangan lateral dengan posisi pendek dorsum pendek dan miring, dan
kemiringan posterior hampir lurus. Bagian apikal dari simpul petiolar pada
tampilan lateral meruncing lebih tajam daripada pada pekerja. Bionomik: Spesies
ini hidup di hutan sekunder dan primer dari dataran rendah ke dataran tinggi
(hingga ketinggian sekitar 1.000 m), dan sarang di serasah daun, tanah, kayu
busuk dan potongan kayu busuk, dan di bawah batu.
Azteca schimperi
Emery (Hymenoptera: Formicidae: Dolichoderinae)
dilaporkan untuk pertama kalinya di negara bagian Tamaulipas, Meksiko. Sebanyak
4 semut pekerja dan seorang ratu dikumpulkan. Sarang dari spesies ini sulit
dideteksi karena kebiasaan arborealnya, seperti yang didokumentasikan oleh
Longino (2007), yang melaporkan 3 sarang A.
schimperi pada Cecropia (Urticaceae) setelah beberapa tahun pengambilan
sampel di Kosta Rika. Ini membentuk sarang besar yang dibangun dari bahan
tanaman yang digerogoti dan dilaporkan di tempat lain bersarang di pohon genus
Cecropia (Benson 1985). Pencarian visual di dekat lokasi jebakan menunjukkan
bahwa wilayah pencarian makan mereka tidak terbatas pada pohon inang, tetapi
diperluas ke semak-semak di sekitarnya. Pencarian tambahan terdeteksi A. schimperi bersarang di rongga-ranting
pohon mangga yang rusak atau busuk (Mangifera indica L.; Anacardiaceae), yang
merupakan komponen umum dari hutan tropis di wilayah tersebut. Pekerja memiliki
tibia tengah dan posterior tanpa taji apikal, mandibula dengan ketebalan khas
pada pangkal, cekung tepi pengunyahan melengkung ke arah gigi apikal yang
membesar, gigi apikal jauh lebih besar dari gigi kedua, lobus clypeal medial
sangat cembung dan menonjol, memanjang jauh di luar lobus clypeal lateral,
kepala dengan sisi-sisi cembung, dan margin posterior yang kuat (Longino 2007).
Dua
pekerja Camponotus striatus (Smith)
(Hymenoptera: Formicidae: Formicinae) dan 1 mayor dicatat dalam Acacia sphaerocephala. (Fabaceae) dan Coffea arabica L. (Rubiaceae) (Gillette
et al. 2015). Pekerja memiliki jahitan metanotal yang sangat tertekan, patung
yang kuat, bertitik, dan buram di sisi kepala, dan sisi pronotum dipahat halus
dengan bagian yang halus (Mackay & Mackay 2018).
Empat
pekerja anak di bawah umur dan 1 mayor Camponotus
atriceps (Smith) (Hymenoptera: Formicidae: Formicinae) terdeteksi. Ini
adalah spesies sinantropik yang sering diamati bersarang di batang di kebun
kopi (De la Mora et al. 2015). Ini adalah semut coklat kemerahan hingga hitam
dengan kaki dan coxae yang lebih ringan, setae proyeksi anterior yang melimpah
tetapi jelas-jelas fleksibel. dorsum mesosom, mata sedang hingga besar dengan
lebih dari 6 sisi, propodeum dan tangkai daun tidak memiliki sepasang gigi
pendek (Sarnat 2012).
Empat
pekerja Colobopsis etiolata (Wheeler)
(Hymenoptera: Formicidae: Formicinae) dan satu mayor dicatat. Spesies ini
dilaporkan sebelumnya dari sarang di Quercus virginiana Mill. (Fagaceae).
Tentara dari spesies ini menggunakan kepala mereka untuk menutup pintu masuk
sarang. Individu berwarna pucat dan memiliki tepi yang tajam di sepanjang
permukaan terpotong dari kepala sub-silinder. Frontal carinae terpisah secara
luas, dengan jelas menyatu ke depan, scape antennal melengkung, tipis di bagian
dasarnya, meningkatkan lebarnya ke arah ujung. Diprofilkan secara seragam dan
dada bagian atas melengkung dengan pronotum bulat, hampir tidak lebih lebar
dari panjang (Bolton et al. 2007).
Sebuah
minor dan utama Camponotus mina Forel (Hymenoptera: Formicidae: Formicinae)
dicatat. Semut ini biasanya bersarang di semak-semak mesquite (Prosopis
glandulosa Torr.; Fabaceae). Ini fitur setae ereksi yang melimpah pada sebagian
besar permukaan, hampir semuanya dengan ujung tumpul, beberapa hampir berserat,
menutupi kepala. Masa pubertas yang tertekan jarang terjadi, dan tepi anterior
clypeus cekung. Semut ini berwarna hitam kemerahan-cokelat mandibula, antena
cokelat, dan tibiae (Mackay & Mackay 2002).
Enam
anak di bawah umur dan 1 mayor Pheidole
punctatissima Mayr (Hymenoptera: Formicidae: Myrmicinae) diidentifikasi
dari jebakan. Spesies ini sering ditemukan di daerah yang terganggu, bersarang
di cabang busuk, dan di bawah kulit pohon (Longino & Cox 2009). Ini adalah
spesies yang relatif mudah diidentifikasi; dua pertiga dari kapsul kepala di
jurusan berwarna kuning keunguan, yang sangat kontras dengan warna cokelat
sedang sampai coklat tua dari seluruh tubuh. Pada pekerja, semua bagian tubuh
kecuali segmen kedua dan berturut-turut dari gaster adalah foveolate dan buram
(Wilson 2003).
Enam
pekerja Monomorium ebeninum Forel
(Hymenoptera: Formicidae: Myrmicinae) dikumpulkan. Koloni besar dari spesies
ini sering bersarang di cabang mati, di bawah batu, dan di rongga tanaman.
Pekerja memiliki wajah miring dan basal dari propodeum dengan panjang yang
kira-kira sama. Juga, mesopleuron pada pekerja halus dan cerah (DuBois 1986). Dalam
suatu spesies, variasi CHC secara kuantitatif sebagian besar yaitu, individu
memiliki set hidrokarbon yang sama, tetapi dalam jumlah relatif yang berbeda.
Terutama, banyak spesies memiliki deret homolog, yaitu hidrokarbon dengan
kelompok metil yang sama dan / atau posisi ikatan rangkap, tetapi panjang
rantai yang berbeda (Martin & Drijfhout 2009a). Sebaliknya, di seluruh
spesies, peneliti menemukan yang sangat besar keragaman kualitatif hidrokarbon
kutikula, yaitu, serangga dari spesies yang berbeda dapat memiliki set
hidrokarbon yang sepenuhnya berbeda. Profil seperti itu biasanya begitu
spesifik bahwa seseorang dapat dengan mudah mengidentifikasi spesies
berdasarkan spesiesnya profil hidrokarbon kutikula saja (Kather & Martin
2012). Komposisi profil CHC yang kompleks memungkinkan untuk menyimpan banyak
informasi. Memang, itu penting peran untuk komunikasi kimia ditemukan dalam
awal 1970-an (Carlson & al. 1971, Blomquist & Bagnères 2010), dan sejak
itu telah ada sejumlah studi pada difungsikan saat ini. Pada banyak serangga
soliter, mereka melayani sebagai feromon seks kontak (Buellesbach & al.
2013) dan dapat menunjukkan status pemuliaan dalam mengubur kumbang (Steiger
& al. 2008).
Gambar 2: Cuticular hydrocarbons play important roles in
intraspecific and interspecific interactions. (A) A virgin queen of Camponotus
ligniperda shortly after leaving its nest, Germany. CHC profiles of virgin
queens differ from worker profiles, but also from those of mated queens. (B) A Camponotus
cruentatus worker a ntennating a n aphid, S outhern France. (C) Formica workers
tending aphids, Northern Spain. Although these trophobiotic interactions are
driven by aphid honeydew, ants recognize their aphid partner based on CHC
profiles. All photos by Florian Menzel
(Philipp P. Sprenger & Florian Menze, 2020) Hidrokarbon
kutikula sangat penting pada serangga sosial, yang membutuhkan lebih banyak
informasi untuk ditukar untuk menjalankan koloni. Serangga sosial, seperti
semut, lebah, atau rayap, gunakan mereka untuk membedakan teman satu sarang
dari non-nestmates (Soroker & Hefetz 2000). Di dalam koloni, mereka
memberikan informasi apakah seorang individu adalah ratu atau pekerja, dan
(untuk pekerja) baik itu penjelajah atau perawat (Leonhardt & Al. 2016).
Karenanya, variasi CHC pada serangga sosial menjadi sangat penting penting
mengenai intraspesifik dan intra-kolonial variasi, dan tekanan seleksi yang
dihasilkan akan dibahas (“Variasi intrinsik di dalamnya koloni serangga sosial
”). Fungsi CHC yang kurang dipelajari termasuk perannya sebagai penghalang
terhadap mikroba (Wurdack & al. 2017), pelumasan kutikula (Cooper & al.
2009), dan peningkatannya adhesi kaki melalui tetesan CHC dibiarkan sebagai jejak
kaki ketika seekor serangga berjalan (Wüst & Menzel 2017). Selanjutnya, CHC
menengahi interspesifik pengakuan antara inang dan parasit (Lenoir & al.
2001b) dan antara mutualis (Menzel & al. 2014) . Tentu saja, banyak fungsi
berarti banyak, dan mungkin saling bertentangan. Interaksi yang kompleks dari
semua ini berbeda fungsi membuat evolusi CHC sangat kompleks dan menarik. Profil
CHC dari serangga sosial biasanya khusus untuk koloni, dan ini berlaku untuk
kedua jenis kelamin (Oppelt & al. 2008). Populasi yang lebih beragam secara
genetik juga secara kimiawi lebih beragam, misalnya, pada semut invasif Linepithema humile. Secara keseluruhan,
ini menunjukkan bahwa mayoritas variasi antar-koloni ditentukan secara genetik.
Bagi semut, variasi di antara koloni penting karena dua alasan: memungkinkan
semut mengenali dan mungkin merupakan hasil adaptasi lokal. Pengakuan Nestmate
dimediasi oleh perbedaan hidrokarbon kutikula di antara koloni (Sturgis &
Gordon 2012). Jarak kimia antara dua lawan biasanya berkorelasi dengan agresi
mereka terhadap satu sama lain (Smith & al. 2013), dan agresi
antar-kolonial lebih tinggi dalam kimia yang lebih beragam. populasi (Errard
& al. 2005). Di sini, model Gestalt mengasumsikan bahwa di dalam koloni,
semut bertukar hidrokarbon. Dengan cara ini, mereka dapat mencapai bau spesifik
koloni yang agak seragam, yang memungkinkan diskriminasi antara teman satu
sarang (dengan tanda tangan yang sama dengan diri sendiri) dan orang yang bukan
teman satu sarang (dengan tanda tangan yang berbeda) (Crozier & Dix 1979). Pertukaran
hidrokarbon di antara para semut pekerja sebagian besar dimediasi oleh kelenjar
postpharyngeal, di mana CHC disimpan, dicampur dan didistribusikan kembali
(Soroker & al. 1994, 1995). Menariknya, hubungan ini berlaku bahkan pada
serangga non-sosial: kecoak suka berteman menggunakan CHC kesamaan untuk
pengakuan kerabat (Lihoreau & al. 2016), menunjukkan pengakuan kerabat
bermediasi CHC sebagai prekursor potensial pengenalan sarang (Leonhardt &
al. 2016). Di samping orang dewasa, pupa juga dapat membawa isyarat pengakuan
sarang, yang memengaruhi cara mereka dirawat oleh perawat (mis., Dalam tingkat
pengambilan induk (Pulliainen & al. 2018).
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan tentang jebakan
Multilure yang diberi umpan dengan
penarik Strepha Trapha dapat mewakili
alat yang berguna untuk pengambilan sampel semut. Ini metode pengambilan sampel
dapat memiliki beberapa keuntungan di masa depan untuk meningkatkan inventaris
semut di Meksiko dan dunia. Godaannya tampaknya menarik untuk semut Azteca
dengan kebiasaan arboreal, yang dilaporkan untuk pertama kalinya di Tamaulipas.
Jumlah spesies yang dilaporkan dalam penelitian ini berbeda dengan yang
dilaporkan oleh García-Martínez et al. (2018), yang mencatat 3.626 pekerja
semut dan 54 spesies dengan menggunakan metode pemantauan lalat buah di habitat
yang berbeda. Mereka menyoroti penggunaan umpan Cera Trap sebagai alternatif yang sangat efektif untuk pengambilan
sampel semut. Singkatnya, batas wilayah Neotropis di timur laut Meksiko sebagai
tempat perlindungan bagi beberapa spesies Formicidae saat ini tidak diketahui.
Dengan demikian, umpan sintetis untuk memantau tephritids menghasilkan pendekatan
yang menarik untuk mendokumentasikan keanekaragaman semut arboreal di zona
transisi antara kawasan Neotropis dan Nearctic. Selain itu, penelitian lebih
lanjut disarankan untuk menilai peran zona ini untuk konservasi keanekaragaman
semut dan proses ekologis transisi yang melibatkan kelompok serangga ini.
Gambar 3. Multilure
trap baited trap with 300 ml of strepha trap: on a tree in the biosphere
reserve “El Cielo.” (Eligio et al, 2020)
Metode
baited trap dipakai pada tempat-tempat yang sulit seperti semut yang berada
dalam lubang, serasah daun dan kayu-kayuan. Caranya potongan madu dan ikan tuna
kaleng diletakkan di kertas. Kondisi ini diharapkan semut yang berada pada
tempat yang sulit akan datang, sehingga diperoleh jenis-jenis semut tanah dan
sekaligus tahu peranan semut pada habitatnya (Wielgoss et al,, 2010 dalam
Hasriyanty et al.,2013). Pengambilan sampel semut dikerjakan satu jam
dengan mengamati semut-semut tanah yang memakan umpan setiap 15 menit.
Metode
yang digunakan yaitu pit fall trap (perangkap sumuran) (Bestelmeyer
& Wiens, 2000). Pengambilan sampel dilakukan dengan membuat petak
plot diagonal pada lokasi sawah organik dan anorganik dengan ukuran sesuai
kebutuhan. Setiap petak plot memiliki jarak tertentu berjarak dan tiap petak plot
terdapat beberapa titik plot sebagai ulangan . Umpan hama dan larutan gula
diletakkan pada gelas plastik yang ditanam pada tanah dengan mulut gelas
plastik sejajar permukaan tanah. Kemudian, gelas plastik berisi umpan hama,
umpan daging ikan, dan umpan larutan gula dibiarkan selama 24 jam hingga semut
memakan umpan. Setelah 24 jam, gelas plastik berisi umpan yang telah terdapat
semut diambil dan dimasukkan ke dalam botol sampel yang berisi alkohol 70% lalu
ditutup dengan penutupnya untuk kemudian dilakukan identifikasi di
laboratorium.
Umpan
hama digunakan untuk mengetahui aktivitas predasi semut dan ketertarikan semut
terhadap hama di lahan sawah. Hal ini dikarenakan terdapat jenis semut yang
menyukai serangga herbivor. Hama yang digunakan sebagai umpan yaitu walang
sangit (Leptocorixa acuta), belalang hijau (Atractomorpha crenulata),
kepik daun (Pentatomidae), dan kutu daun (Aphidoidea). Jenis ikan yang
digunakan sebagai umpan yaitu ikan tuna. Menurut Zulkarnain (2006), ikan tuna
adalah jenis ikan yang memiliki kandungan protein yang tinggi dan lemak yang
rendah. Semut predator menyukai makanan yang mengandung protein.Semut menyukai
makanan yang mengandung glukosa, sedangkan glukosa dibutuhkan semut sebagai
sumber energinya.
2.10
Aktivitas semut musiman
Menurut
Analisis Korespondensi, dinamika temporal semut di habitat yang berbeda yang
disampel di sini dikategorikan ke dalam tiga kelompok. Akibatnya, suhu adalah
faktor terpenting yang mempengaruhi variasi spasial dan temporal semut yang
kemudian dapat dianggap sebagai termofilik (Hölldobler & Wilson, 1990).
Pfeiffer et al. (2003) juga mencatat
bahwa distribusi semut di stepa Mongolia tergantung pada amplitudo suhu.
Selanjutnya, semut pemanen benih, seperti M.
sanctus, M. medioruber, M. arenarius dan P. pallidula, tampaknya lebih
banyak dan aktif di musim gugur. Spesies ini adalah konsumen benih yang penting
dalam beberapa ekosistem gurun (Pirk et
al., 2009). Dalam sebuah studi tentang aktivitas semut Mediterania,
melaporkan aktivitas pencarian semut maksimum dari genus Messor dan P. pallidula
selama musim gugur (September dan Oktober), kecuali untuk M. capitatus yang lebih aktif selama musim panas. Selain itu, Cros et al.
(1997) mengamati bahwa spesies ini terutama aktif pada senja dan malam hari
selama bulan-bulan musim panas, serta C.
thoracicus dan C. barbaricus.
Agosti,
D., Majer, J., Alonso, L., dan T. Schultz. 2000. Ants Standard Methods for
Measuring and Monitoring Biodiversity. Smithsonian Institution Pr Washington.
Andersen
AN. 1997. Using ants as bioindicators: multiscale issues in ant community
ecology. Available at: http://www.consecol.org/vol1/iss1/art8/ [accessed 8 Juli
2013].
Andersen
AN. 2000. Global ecology of rainforest ants: functional groups in relation to
environmental stress and disturbance. In: Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR (Eds.), Ants: Standard
Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity. pp. 25–34. Washington:
Smithsonian Institution Press.
Anjali Kumar &
Sean O & Donnell., 2007. Fragmentation And Elevation Effects OnVBird
Army Ant Interactions In Neotropical Montane Forest Of Costa
Rica.
Journal of Tropical Ecology .Volume 23 (05) Cambridge University
Press.
Benson
WW. 1985. Amazon ant-plants, pp. 239–266 In Prance GT, Lovejoy TE [eds.], Amazonia. Pergamon Press, Oxford, England.
Bharti H, Silla S. 2011.
Note on life history of (fabricius) and its potensial as agent. Halteres.
3:1-8.
Blomquist, G.J. & Bagnères, A.-G.
2010: Introduction: history and overview of insect hydrocarbons. In: Blomquist,
G.J. & Bagnères, A.-G. (Eds.): Insect hydrocarbons: biology, biochemistry,
and chemical ecology. – Cambridge University Press, New York, NY, pp. 3-18. Bolton B, Alpert
G, Ward PS, Naskrecki P. 2007. Bolton’s Catalogue of Ants of the World. Harvard
University Press, Cambridge, Massachusetts, USA.
Bodlah,
I. Rasheed, M.T., Gull-e-Fareen, A., Ajmal, M.S. and Bodlah, M.A., 2016. First
record of two new species of genus Tetraponera (Hymeoptera:
Pseudomymecinae: Formicidae) from Pakistan. J. Ent. Zool. Stud., 4:
1028-1030.
Borror
DJ, Triplehorn CA, Johnson N. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Eds 6.
Gadjha Mada University Press. Penerjemah. Yogjakarta: UGM Press. Terjemahan
dari An Introduction To The Study Of Insects.
Buellesbach, J., Gadau, J.,
Beukeboom, L.W., Echinger, F., Raychoudhury, R., Werren, J.H. & Schmitt, T.
2013: Cuticular hydrocarbon divergence in the jewel wasp Nasonia: evolutionary
shifts in chemical communication channels? – Journal of Evolutionary Biology
26: 2467-2478.
Sestelmeyer, B. & J.
Wiens. 2000. The Effects of Land Use on The Structure of Ground- Foraging Ant
Communities in The Argentine Chaco. Austral. Ecol., 67:137 - 145.
Carlson, D.A., Mayer, M.S.,
Silhacek, D.L., James, J.D., Beroza, M. & Bierl, B.A. 1971: Sex attractant
pheromone of the house fly: isolation, identification and synthesis. – Science
174: 76-78.
Collingwood,
C.A., 1961. The third Danish expedition to Central Asia. Zoological Results 27.
Formicidae (Insecta) from Afghanistan. Vidensk. Medd. Dan. Naturhist. Foren., 123: 51-79.
Cooper, R., Lee, H., González,
J.M., Butler, J., Vinson, S.B. & Liang, H. 2009: Lubrication and surface
properties of roach cuticle. – Journal of Tribology 131: art. 014502.
Cros, S., Cerdá, X., Retana, J. (1997). Spatial and
temporal variations in the activity patterns of Mediterranean ant communities.
Ecoscience, 4: 269-278.
Dlussky,
Denis J.B., A.P., Rasnitsyn. 2000. The First Late Cretaceous Ants (Hymenoptera:Formicidae)
From Shouter Africa With Comments On The Original The Myrmicinae. Insect Syst,
E vol. 35. (Skripsi Program Strata 1 IAIN Raden Intan Lampung. 2014).
Errard, C., Delabie, J.H.C.,
Jourdan, H. & Hefetz, A. 2005: Intercontinental chemical variation in the
invasive ant Wasmannia auropunctata (Roger) (Hymenoptera:
Formicidae): a key to the invasive success of a tramp species. –
Naturwissenschaften 92: 319-323.
Eleanor.
(2013). Book of Common Ants. Raleigh: Your wild life.ISBN-10:
022644581X, pp:1-96. URL: https://www.amazon.com/Dr-Eleanors-Book
Common-Ants/dp/022644581X.
De
la Mora A, Perez-Lachaud G, Lachaud JP, Philpott SM. 2015. Local and landscape drivers
of ant parasitism in a coffee landscape. Environmental Entomology 44: 939–950.
DuBois
M. 1986. A revision of the native New World species of the ant genus Monomorium
(minimum group) (Hymenoptera: Formicidae). The University of Kansas
Science Bulletin 53: 65–119.
Falahudin,
I., S. Rizal and Dahlia. 2011. Keanekaragaman Semut Predator Arboreal (Hymenoptera:
Formicidae) di Perkebunan Kelapa Sawit SPPN Sembawa Banyuasin. Institut Agama
Islam Negeri Raden Fatah. Palembang.
García-Martinez
M, Presa-Parra E, Valenzuela-Gonzalez J, Lasa R. 2018. The fruit fly lure
CeraTrap: an effective tool for the study of the arboreal ant fauna (Hymenoptera:
Formicidae). Journal of Insect Science 18: 1–7.
Garden,
J., McAlpine, B., Possingham, C.,dan N. Jones. 2007. Habitat Structure is More
Important Than Vegetation Composition for Local Level Management Terrestrial
Reptile and Small Mammal Species Living in Urban Remnants: A Case Study from
Brisbane, Australia. Austral Ecol 32: 669-685.
Gibb H, Hochuli DF. 2003. Colonisation by adominant
ant facilitated by anthropogenic disturbance: effects on ant assemblage
composition, biomass and resource use. Oikos.103:469–478. doi: http://dx.doi.org/10.1034/j.1600-0706.2003.12652.x.
Gillette
PN, Ennis KK, Domínguez-Martínez G, Philpott SM. 2015. Changes in species
richness, abundance, and composition of arboreal twig‐nesting ants along
an elevational gradient in coffee landscapes. Biotropica 47: 712–722.
Giller,
G. 2002. Biodiversity and Ecosystem Function: Do Species Matter. Biology and
Environment 3: 129 – 139.
Hasriyanty,
Rizali, A. & Buchori, D. (2013). Keanekaragaman Semut dan Pola
Keberadaannya pada Daerah Urban. Jurnal Entomologi Indonesia, 12 (1):
39-47. DOI: 10.5994/jei. 12.1.39.
Hasriyanty,
A. Rizali, & D. Buchori. 2015. Keanekaragaman Semut dan Pola Keberadaannya
pada Daerah Urban di Palu, Sulawesi Tengah. Jurnal Entomologi Indonesia. ISSN:
1829-7722.
Hasriyanty,
Rizali, A. & Buchori, D. (2016). Keanekaragaman Semut dan Pola
Keberadaannya pada Daerah Urban. Jurnal Entomologi Indonesia, 12 (1):
39-47. DOI: 10.5994/jei. 12.1.39.
Holldobler,
B., dan Wilson, E., 1990. The Ants. Cambridge Massachusetts: Harvard
Univ Pr. Pp 17 - 44.
Ikbal,
M., N.S. Putra, & E. Martono. 2014. Keragaman Semut pada Ekosistem Tanaman
Kakao di Desa Banjaroya Kecamatan Kalibawang Yogyakarta. Jurnal Perlindungan
Tanaman Indonesia, Vol. 18, No. 2, 2014: 79–88. Palu : Universitas
Muhammadiyah Palu.
Kather, R. & Martin, S.J. 2012:
Cuticular hydrocarbon profiles as a taxonomic tool: advantages, limitations and
technical aspects. – Physiological Entomology 37: 25-32.
Krebs,
C.J. 1989. Ecological Methodology. Harper and Row Publisher. New York.
Kahono
dan Amir. 2003. Ekosistem dan Khasanah Serangga Taman Nasional Gunung
Halimun dalam Amir & Kahono (editor) Serangga Taman Nasional Gunung
Halimun Jawa Barat. Biodiversity Conservation Project. Hal : 10-12.
Lessard,
J.; Buddle, C.M. The effects of urbanization on ant assemblages (Hymenoptera:
Formicidae) associated with the Molson nature reserve, Quebec. Can. Entomol. 2005, 137, 215–225.
Lihoreau, M., Rivault, C. &
Zweden, J.S. van 2 016: K in discrimination increases with odor distance in the
German cockroach. – Behavioral Ecology 27: 1694-1701.
Lenoir, A., D’Ettorre, P. &
Errard, C. 2001b: Chemical ecology and social parasitism in ants. – Annual
Review of Entomology 46: 573-599.
Leonhardt, S.D., Menzel, F., Nehring,
V. & Schmitt, T. 2016: Ecology and evolution of communication in social
insects. – Cell 164: 1277-1287.
Longino
JT. 2007. A taxonomic review of the genus Azteca in Costa Rica and a global
revision of the aurita group. Zootaxa 1491: 1–63.
Longino
JT, Cox DJ. 2009. Pheidole bilimeki reconsidered (Hymenoptera:
Formicidae). Zootaxa 1985: 34–42.
Latumahina,
F., Musyafa, M., Sumardi & Putra, N.S. (2015). Respon Semut terhadap
KerusakanAntropogenik dalam Hutan Lindung Sirimau Ambon. Jurnal Manusia dan
Lingkungan, 22(2): 169-178. DOI https://doi.org/10.22146/jml.18739.
Mackay
WP, Mackay E. 2002. The Ants of New Mexico (Hymenoptera: Formicidae). Edwin
Mellen Press, Lewiston, New York, USA.
Mackay
W, Mackay E. 2018. The Ants of North America. Centennial Museum, Laboratory for
Environmental Biology, The University of Texas, El Paso, Texas. USA.
https://www.utep.edu/leb/ants/Camponotus.htm (last accessed 22 Dec 2019).
Martin, S.J. & Drijfhout, F.P.
2009a: How reliable is the analysis of complex cuticular hydrocarbon profiles
by multivariate statistical methods? – Journal of Chemical Ecology 35: 375-382.
Matlock
RB Jr, de la Cruz R. 2002. An inventoryof Parasitic Hymenoptera in banana
plantations under two pesticide regimes. Agriculture, Ecosystems &
Environment 93:147–164. doi: http://dx.doi.org/10.1016/S0167-
8809(02)0000 2-6.
Mele,
P.V. & Cuc, N.T.T. (2004). Semut sahabat petani: meningkatkan hasil
buah-buahan dan menjaga kelestarian lingkungan bersama semut rangrang.
Diterjemahkan oleh: Subekti Rahayu. Bogor: World Agroforestry Centre.ISBN
979-3198-15- X, pp: 1-66. URL : http://www.worldagroforestry.org/publication/se
mut-sahabat-petani-meningkatkan-hasil-buah-buahandan-menjaga-kelestarian-lingkungan.
Menzel, F., Orivel, J., Kaltenpoth,
M. & Schmitt, T. 2014: What makes you a potential partner? Insights from
convergently evolved ant-ant symbioses. – Chemoecology 24: 105-119.
Nakamura,
A., Catterall, C., House, A., Kitching, R., dan C. Burwell. 2007. The Use of
Ants and Other Soil and Litter Arthropods as Bioindicators of The Impacts of
Rainforest Clearing and Subsequent Land Use. Journal Insect Conserv. 11:
177-186.
Oppelt, A., Spitzenpfeil, N.,
Kroiss, J. & Heinze, J. 2008: The significance of intercolonial variation
of cuticular hydrocarbons or inbreeding avoidance in ant sexuals. – Animal Behaviour
76: 1029-1034.
Pecarevic,
M. 2010. Biodiversity on Broadway - Enigmatic Diversity of the Societies of
Ants (Formicidae) on The Streets of New York City. Journal Appl Ecol 5(10) :
121-125.
Peck
SL, Mcquaid B, Campbell CL. 1998. Using ant species (Hymenoptera: Formicidae)
as a biological indicator of agroecosystem condition. Environmental Entomology
27:1102–1110. doi: http://dx.doi.org/10.1093/ee/27.5.1102.
Peterson,
C. & Seligman, M.E.P. (2004). Character strengths and virtues: a handbook
and classification. New York: Oxford University Press.
Pfeiffer, M., Chimedregzen, L., Ulykpan, K. (2003).
Community organization and species richness of ants (Hymenoptera/ Formicidae)
in Mongolia along an ecological gradient from steppe to Gobi desert. Journal of
Biogeography, 30: 1921 1935.
Pirk, G.I., Di Pasquo, F. Y., Lopez, D. E., Casenave,
J. (2009). Diet of two sympatric Pheidole spp. ants in the central Monte
desert: implications for seed–granivore interactions. Insectes Sociaux, 56:
277-283.
Peng,
R.K., Christian, K. dan Gibb, K. 1995. The effect of the green ant, Oecophylla
smaragdina (Hymenoptera: Formicidae), on insect pests of cashew trees in
Australia’, Bulletin of Entomological Research, 85 (2): 279–284.
Pulliainen, U., Bos, N., D’Ettorre,
P. & Sundström, L. 2018: Caste-dependent brood retrieval
by workers in the ant Formica exsecta. – Animal Behaviour 140: 151-159.
Putra,
I.M., Hadi, M. Dan Rahardia, R. 2017. Struktur Komunitas Emut (Hymenoptera:
Formicidae) Di Lahan Perttanian Organik Dan Anorganik Desa Bultur, Kecamatan
Getasan, Kabupaten Semarang. Bioma. Vol.19, No.2, Hal. 170-179.
Rahmawati.
(2004). Studi Keanekaragaman Mesofauna Tanah di Kawasan Hutan Wisata Alam
Sibolangit. USU e-USU repository: 1-17. URL:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/9 10/1/hutan-rahmawaty12.pdf. .
Rizali,
A., Bos, M.M., Buchori, D., Yamane, S. & Schulze, C. H. (2008). Ants in
tropical urban habitats: the myrmecofauna in a densely populated area of Bogor,
West Java, Indonesia. HAYATI Biosciences,15: 7784.DOI:
https://doi.org/10.4308/hjb.15.2.77 .
Rizali,
A. 2007. Keragaman Semut di Kepulauan Seribu, Indonesia [tesis]. Institut
Pertanian Bogor.
Sarnat
E. 2012. AntKey, Camponotus atriceps. http://antkey.org/en/content/
camponotus-atriceps-1 (last accessed 22 Dec 2019).
Shahabudin.
2011. Effect of Land Use Change on Ecosystem Function of Dung Beetles:
Experimental Evidence From Wallacea Region in Sulawesi. Jurnal biodiversitas 3
: 177-181.
Sharaf,
M.R., Aldawood, A.S. dan Taylor, B. 2012. A New Ant Species of The Genus
Tetramorium Mayr, 1855 (Hymenoptera: Formicidae) From Saudi Arabia, With a
Revised Key to The Arabian Species. PloS ONE, 7 (2): 1-9.
Shattuck,
S.S. 1992. Australian Ant: Their Biology and Identification. Australia
(AU): CSIRO.
Shattuck,
S. 2000. Australian Ants: Their Biology and Identification. Collingwood:
CSIRO Sydney. Pp 197 - 199.
Smith, A.A., Millar, J.G., Hanks,
L.M. & Suarez, A.V. 2013: A conserved fertility signal despite
population variation in the cuticular chemical profile of the trap-jaw ant Odontomachus
brunneus. – Journal of Experimental Biology 216: 3917-3924.
Soroker, V., Vienne, C. &
Hefetz, A. 1995: Hydrocarbon dynamics within and between nestmates in Cataglyphis
niger (Hymenoptera, Formicidae). – Journal of Chemical Ecology 21: 365-378.
Soroker, V. & Hefetz, A. 2000:
Hydrocarbon site of synthesis and circulation in the desert ant Cataglyphis
niger. – Journal of Insect Physiology 46: 1097-1102.
Steiger, S., Peschke, K., Francke,
W. & Müller, J.K. 2007: The smell of parents: Breeding status influences
cuticular hydrocarbon pattern in the burying beetle Nicrophorus
vespilloides. – Proceedings of the Royal
Society B-Biological Sciences 274: 2211-2220.
Stephens,
S., dan M. Wagner. 2006. Using Ground Foraging Ant (Hymenoptera: Formicidae)
Functional Groups as Bioindicators of Forest Health in Northern Arizona
Ponderosa Pine Forests. Environ Entomol 35: 937- 949.
Sturgis S.J. & Gordon, D.M.
2012: Nestmate recognition in ants (Hymenoptera: Formicidae): a review. –
Myrmecological News 16: 101-110.
Suin,
N. M. (2007). Ekologi Hewan Tanah. Bandung: Bumi Aksara.ISBN: 979-526-082-0,
pp: 1-204. URL: http://library.fip.uny.ac.id/opac/index.php?p=sho
w_detail&id=6381.
Tauruslina,
A.E., Trizelia, Yaherwandi, H. Hamid. 2015. Analisis Keanekaragaman Hayati Musuh
Alami pada Ekosistem Padi Sawah di Daerah Endemik dan Non-endemik Wereng Batang
Coklat Nilaparvata lugens di Sumatera Barat. Pros Sem Nas Masy Biodiv
Indon. 1(3):581-589.
Umair,
M., Zia, A., Naeem, M. and Chaudhry, M.T., 2012. Species composition of ants
(Hymenoptera: Formicidae) in Potohar Plateau of Punjab Province, Pakistan. Pakistan
J. Zool., 44: 699-705
Wilson
EO. 2003. Pheidole in the New World: A Dominant, Hyperdiverse Ant Genus.
Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, USA.
Wulandari,
S., Sugiyarto, & Wiryanto. 2005. Dekomposisi Bahan Organik Tanaman serta Pengaruhnya
terhadap Keanekaragaman Mesofauna dan Makrofauna Tanah di Bawah Tegakan Sengon
(Paraserianthes falcataria). BioSMART volume 7, no. 2 : 104-109.
Whitmore,T.
2000. The Case of Tropical Rain Forests. The Sustainable Development of
Forests: Aspirations and The Reality. Naturzale 15: 13-15.
Wurdack, M., Polidori, C., Keller,
A., Feldhaar, H. & Schmitt, T. 2017: Release from prey preservation
behavior via prey switch allowed diversification of cuticular hydrocarbon profiles
in digger wasps. – Evolution 71: 2562-2571.
Wüst, M. & Menzel, F. 2017: I
smell where you walked – how chemical cues influence movement decisions in
ants. – Oikos 126: 149-160.
Zulkarnain, S. 2006.
Preferensi Semut Permukiman Terhadap Berbagai Jenis Umpan. Skripsi. Bogor :
Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor.
|